MENGAKUI KUASA ALLAH 


Oleh: Pdt. Andri Purnawan 

 

“Dengan kuasa manakah kamu melakukan hal-hal itu? Dan siapakah yang memberikan kuasa itu kepada-Mu?”  



 

Pernahkah Anda menjumpai seorang yang mudah marah, terutama bila merasa kewenangannya dilangkahi? Bentuk amarahnya bisa berwujud konfrontasi, menyerang pihak yang dianggap mengancam; namun ada juga dengan mengungkap kekecewaan, dan sejurus kemudian menarik diri dan membangun benteng, serta mengisolasi diri.

 

Biasanya, orang yang mudah tersinggung punya problem terkait dengan kuasa (power issue) dalam kehidupan domestiknya. Di rumah, atau di tempat kerja, mereka terlalu sering disakiti, tak dihargai, dihambat dengan banyak aturan, dan ditekan oleh otoritas dari berbagai jurusan: oleh agama, pasangan, budaya, tuntutan menjaga nama baik dan prestasi, dan segala sesuatu yang menganggap kelemahan sebagai aib yang perlu ditutupi. Bahkan ketika berada di wilayah otoritasnya pun, mereka merasa tak aman. Ketika kawan berbeda jalan, dianggap sebagai upaya pengkhianatan; ketika anak berbeda pendapat, ditafsirkan sebagai bahaya dan perlawanan; ketika rekan kerja berinisiatif memulai, malah dipandang sebagai upaya menelikung dan melangkahi, dan sebagainya. 

 

Tak hanya itu, orang yang sering mengalami power issue adalah kaum beragama. Di satu sisi mereka taat dan berserah kepada Allah, namun di sisi lain sangat rentan merasa terancam ketika melihat orang lain punya penghayatan, pandangan, dan cara beribadah yang berbeda. Terhadap semua perspektif dan praktik yang tak dimengerti- selalu dibedah dengan pisau pertanyaan yang penuh curiga, “Gak bahaya tha?” Kemudian orang-orang beragama punya kecenderungan membangun kelompok ekslusif, memimpikan gerakan pemurnian, yang ujung-ujungnya mendamba kebaikan, dan selamatnya sendiri dan menuntut orang lain takluk kepadanya. 

 

Bacaan kita hari ini, Matius 21:23-32 dilatar belakangi oleh situasi serupa. Sebelumnya dikisahkan bahwa Yesus masuk ke Yerusalem dan melakukan penyucian bait Allah dengan cara yang sangat subversif. Ia membalik meja-meja penukar uang, dan mengusir mereka yang mengkomersialisasi peribadatan. Yesus menyembuhkan mereka yang buta dan lumpuh, ditengah kebutaan dan kelumpuhan institusi agama yang tak mampu meresponi kenyataan sosial. Anak-anak pun kemudian menyerukan Hosana bagi Anak Daud, hingga pemimpin iman pun marah dan merasa dilecehkan dengan itu. Belum lagi Yesus melakukan “tindakan yang sulit dinalar,” mengutuk pohon ara yang tak kunjung berbuah hingga menjadi kering seketika. 

 

Para imam menjadi tersinggung, terlecehkan, dan merasa ditantang, sehingga menggungat Yesus dengan pertanyaan, “siapakah yang memberikan kuasa itu kepadamu?” Mereka merasa Yesus melangkahi kepemimpinan Bait Allah, sebab melakukan semua tindakan itu tanpa restu. Apalagi Penguasa Roma telah memberi legitimasi kepada mereka untuk menjadi pusat norma dan stabilitas. Di mata mereka Yesus sudah benar-benar keterlaluan, karena melakukan semua tindakan revolusioner tersebut tanpa dukungan imam kepala, akademisi ahli (taurat), kekayaan (para tua-tua), maupun aliansi politik. Karenanya, mereka mempertanyakan legitimasi Yesus. 

 

Tak seperti para imam, Yesus tetap dingin ketika orang mempertanyakan legitimasi, dan meragukan karya kebaikan-Nya. Ia kemudian justru menelanjangi mereka yang mempertanyakan-Nya, karena kepercayaan mereka justru seringkali berbuah ketidak percayaan dan kemandulan iman. Setelah itu, Yesus membandingkan mereka dengan seorang anak sulung yang cuma bisa menjilat bapanya, namun tak pernah mengerjakan kehendaknya, dengan orang-orang yang merasa diri lemah, berdosa, namun bertobat dan melakukan karya nyata. 

 

Hari ini, kita diingatkan. Apakah sebagai orang-orang yang mengklaim tunduk kepada kuasa Allah, kita masih mengalami power issue? Masihkah kita mudah marah karena merasa dilangkahi oleh anggota keluarga, rekan kerja, rekan sepelayanan, dan orang-orang di sekitar kita?  Apakah kita menjadi seperti anak sulung yang dengan penuh keyakinan menyambut perintah sang Bapa, namun kemudian tak melakukan apa-apa? 

 

Mereka yang mengakui kuasa Allah bukanlah mereka yang yakin tentang kehebatan Allah, senyampang mutungan, dan cemburu pada karya kebaikan orang lain, melainkan mereka yang melakukan kehendak Allah untuk terus menyebar cinta, perdamaian, dan keutuhan ciptaan dengan berbagai cara! Amin. - @’Ndrie-

 

 

 

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

"Transformed Nonconformist" Spirituality: An Effort to Open the Eyes of Indonesian Christian Church"

BERTEOLOGI DI TENGAH KEMISKINAN

Memurnikan Hati, Menyambut Pengharapan