Kita bisa jadi Pahlawan



Yohanes 15:13

Oleh: Pdt. Andri Purnawan 

 

Selamat hari Pahlawan! Merdeka atau mati! Demikian sang pemimpin upacara memekikkannya dan disambut dengan beberapa pleton barisan dengan semangat dengan penuh gelora. Sementara beberapa orang lainnya menanggapi dengan wajah datar, dan sebagian yang lain nampak bertanya-tanya: apa makna dan relevansi pekik merdeka di zaman ini? Itulah yang saya lihat ketika berada di sebuah upacara peringatan hari Pahlawan. 

 

Realitas itu menegaskan bahwa sesungguhnya “pahlawan adalah sebuah konsep.” Setiap orang punya definisi dan imajinasi yang berbeda tentang pahlawan.

 

Ada yang membayangkan pahlawan sebagai para pejuang yang gugur karena memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ada yang berpandangan bahwa pahlawan sebagai mereka yang berkorban untuk kebaikan orang lain. 

 

Sementara, para remaja putri tahun 90’an membayangkan pahlawan sebagai figur fiktif, yakni seorang pangeran tampan yang datang menjemputnya dengan kereta kencana, seperti Cinderella yang disambut oleh Sang Pangeran. Kemudian mereka memproyeksikannya pada para artis dan musisi, memasang posternya di kamar, mengikuti pertunjukannya, dan berteriak histeris saat bisa bersalaman, mendapatkan tanda tangan apalagi memeluknya. Tak jarang para perempuan itu rela membayar sangat mahal asal bisa dekat dengan “sang pahlawan.”

 

Ada lagi, di zaman orde baru, muncul slogan “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa,” tujuannya agar para guru punya semangat pengabdian dan pengorbanan bagi kemajuan pendidikan; namun juga sekaligus agar para murid menghargai dan mengingat jasa gurunya. Di sini, konsep kepahlawanan menjadi alat propaganda (positif) negara untuk memobilisasi rakyatnya pada perbaikan. 

 

Yang mirip dengan itu adalah sebutan Tenaga Kerja Indonesia sebagai “pahlawan devisa,” karena bergaji mata uang asing.  Padahal mereka bekerja keras, tanpa perlindungan pemerintah, meninggalnya kekasih dan anak-anaknya di tanah air, hanya demi mendapatkan hidup yang lebih layak. Tak sedikit di antara mereka yang diperbudak, dilecehkan, dan bahkan dianiaya sampai mati. Tak jarang, ketika pulang ke tanah air untuk menengok keluarga, para tenaga kerja wanita justru sering dijadikan sasaran pemerasan oleh oknum petugas bea cukai bandara. Beberapa kali saya melihat para TKW dari Arab, ketika di pesawat tak berhijab, tapi begitu turun langsung memakai busana yang super tertutup, lengkap dengan cadarnya. Konon cara itu lumayan jitu untuk membebaskan diri dari pemerasan oleh oknum-oknum nakal itu. Bahkan suatu saat, ketika kembali dari Kuala Lumpur, seorang TKW yang duduk bersebelahan dengan saya di pesawat memohon, agar dia diizinkan mengaku bahwa saya adalah suaminya saat di bandara. Semua dilakukan untuk membebaskan diri dari pemerasan. Ironisnya, para korban itu dibius dengan julukan “pahlawan devisa.”  

 

Ada juga konsep kepahlawaan yang sangat personal. “My Daddy is my Hero” misalnya, diungkap oleh seorang yang sangat mencintai ayahnya, yang meski berkarakter keras, namun sangat melindungi, menyayangi, mengayomi, berkorban total bagi keluarganya. Tak jarang, anak-anak sering bertengkar dengan temannya karena berdebat tentang ayah siapa yang lebih baik. Loyalitas dan glorifikasi terhadap kepahlawanan ayah, yang sangat personal itu kemudian bisa berkembang menjadi persaingan keluarga yang mandarah daging, dan menjadi penghalang cinta, seperti perseteruan keluarga Capulet vs Montague, dalam kisah Romeo & Julia karya William Shakespeare yang legendaris itu.  

 

Di hari pahlawan ini, saatnya menghargai jasa para pendahulu yang telah berkorban bagi kebaikan kita hari ini. Seorang pahlawan sejati, tak pernah tahu bahwa mereka akan menjadi pahlawan. Semasa hidup, mereka hanya mengikuti panggilan jiwa yang tulus dan nurani dengan gagah berani. Para pahlawan bukan orang-orang yang mencari aman, dan memikirkan keselamatannya sendiri. Juga bukan tokoh-tokoh fiksi yang diciptakan oleh komunitas penggila idola. 

 

Dalam iman, Yesus Kristus adalah pahlawan kekal, karena tidak ada kasih yang lebih besar dari Dia yang telah menyerahkan nyawa-Nya bagi keselamatan kita dan semesta. Dan jika saudara/i, dan saya memikirkan apa yang Yesus pikirkan, melihat seperti Yesus melihat, dan membaktikan hidup bagi cinta sejati, tanpa menuntut balas, kita semua layak disebut sebagai pahlawan. Selamat hari Pahlawan!  

Comments

Popular posts from this blog

"Transformed Nonconformist" Spirituality: An Effort to Open the Eyes of Indonesian Christian Church"

BERTEOLOGI DI TENGAH KEMISKINAN

Memurnikan Hati, Menyambut Pengharapan