Artificial Intelligence sebagai “Gambar Manusia,” sebuah Perspektif Teologis
Oleh:
Pdt. Andri Purnawan, MTS.*
PENDAHULUAN
Kecerdasan buatan - Artificial Intelligence (AI)- telah memungkinkan kita melakukan berbagai hal dengan lebih cepat dan mudah. AI mampu memainkan peran sebagai asisten virtual (contoh ChatGPT), algoritma media sosial yang mengetahui minat penggunanya, sebagai mesin pencari yang mampu memberi saran bagi penggunanya, aplikasi streaming musik dan film, mobile banking, aplikasi transportasi online, aplikasi belanja online, dan masih banyak hal lainnya. Untuk masyarakat urban, tiada hari bisa dilewati tanpa topangan teknologi. Mulai dari peralatan rumah tangga, alat komunikasi, perangkat hiburan, media sosial, alat transportasi, rambu lalu lintas, mesin-mesin pabrik, institusi pendidikan, transaksi keuangan dan hampir semua sektor kehidupan telah melibatkan kecerdasan buatan. Dengan kata lain, teknologi kecerdasan buatan telah menjadi keniscayaan bagi manusia. Artinya tanpanya, kehidupan akan mengalami regresi dan makin primitif, sebab hampir semua alat yang digunakan oleh manusia modern menggunakan teknologi yang melibatkan kecerdasan buatan.
Penulis berpendapat bahwa Artificial Intelligence adalah “gambar manusia.” Apabila manusia yang secara teologis menyandang status sebagai “yang dicipta seturut dengan gambar Allah,” yang sekaligus secara natural dan sosial-struktural (precariat dan precharitas) memiliki sisi rapuh, maka Artificial Intellegence, juga perlu diapresiasi dan dikawal secara kritis, agar berdampak baik bagi semesta.
MANUSIA DICIPTA SETURUT GAMBAR ALLAH
Kekristenan percaya bahwa segala sesuatu yang ada di semesta tercipta oleh, di dalam, dan bagi kemuliaan Allah. Kolose 1:15-17, mengatakan, “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia terlebih dahulu dari segala sesuatu, dan segala sesuatu ada di dalam Dia” (Kolose 1:15-17). Dari sini kita melihat keyakinan Kristen bahwa setiap insan dicipta seturut dengan Kristus, Sang Perwujudan Allah. Hal serupa dinyatakan dalam Kejadian 1:26, dimana Allah mencipta manusia seturut dengan gambar dan rupa-Nya, agar manusia mampu melahirkan keturunan yang menuhi bumi dengan kemuliaan Allah. Sebagai yang dipta seturut gambar-Nya, manusia meliliki daya cipta, rasa, dan karsa dan menjadi mitra Allah dalam menyelenggarakan kehidupan.
ARTIFIAL INTELLIGENCE SETURUT GAMBAR MANUSIA
Sebagai makhluk yang berakal, manusia mampu menciptakan alat untuk mempermudah hidupnya (homo faber). Di era pertanian, manusia menciptakan kapak, cangkul, pisau pemangkas, alat berburu, alat penangkaran hewan, peralatan untuk memasak dan untuk menunjang kebutuhannya untuk bertahan hidup. Selain itu manusia juga pusa kapasistas untuk menciptakan keteraturan dan pola atas kebiasaan-kebiasaannya. Kemampuan menciptakan pola itu membuat manusia menjadi homo-mechanicus, yang kapabel untuk memperbanyak dan meningkatkan alat-alat yang ia ciptakan dan menciptakan kebudayaan yang diwariskan dan terus dikembangkan dari generasi ke generasi.
Selain homo faber dan homo-mechanicus, manusia adalah makhluk yang suka bermain (homo-ludens). Kegemaran bermain membuat manusia melakukan percobaan-percobaan, yang dihasilkan dari perbagai penelitian, dan membuat pengetahuan dan ketrampilannya berkembang makin pesat. Dari sana lah lahir teknologi dan inovasi yang semakin canggih dan bahkan manusia mampu memberikan sentuhan rasa pada teknologi yang ia ciptakan (homo recentis). Benda-benda, dan teknologi yang dicipta semakin menarik hati, cara bekerjanya efektif dan efisiensinya terus meningkat. Kecakapan manusia untuk terus berinovasi (homo volens), membuat manusia terus mengevaluasi dan menilai perkembangan peradabannya sendiri (homo mensura), dan berbuah akalnya berkembang makin pesat, berbagai symbol, system, dan kebudayaan yang diciptakannya makin menakjubkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (homo economicus).
Terciptanya Artificial Intelligence (AI) perlu dilihat sebagai bagian dari proses perkembangan manusia, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa AI merupakan “gambar manusia.” Manusia sosok yang berakal budi (homo sapiens), sebagai homo faber, homo mechanicus, homo ludens, homo recentis, homo volens, homo economicus, homo socius (membutuhkan orang lain), homo viator (mencari jati diri), homo religius, dan homo concord (berdaptasi) mencipta kecerdasan buatan yang dapat mewakili peran kodrati seperti diuraikan di atas.
PERKEMBANGAN ARTIFIAL INTELLIGENCE
Menurut Tegmark, perkembangan AI terbagi menjadi tiga tahap.[1] Pertama, 1956 (pertama kali AI diperkenalkan)-1970 (program computer memecahkan problem matematis yang kompleks), yang ditandai dengan mesin Turing dan catur computer. Tahap kedua 1980-1990, dimana komputer mampu memecahkan masalah kompleks terkait bidang tertentu, contohnya AI medis yang dikembangkan oleh Stanford University “MYCIN” yang mampu mendiagnosis dan meresepkan obat untuk penyakit pasien.[2] Tahap ketiga dari pertengah 2000- hingga kini, dimana AI memiliki big data, mampu mengolah informasi, bahkan mampu “belajar secara otonom” dengan mengembangkan informasi yang dimilikinya, mampu menganalisis kebiasaan dan minat manusia secara algoritmik. Singkatnya, AI di era ini tak hanya mampu meniru manusia, melainkan telah mampu memahami, mengidentifikasi, menilai, dan memprediksi objek dan kecenderungannya.[3]
Arend Hintze, Assistant Professor of Integrative Biology & Computer Science and Engineering, Michigan State University membagi kecerdasan buatan dalam empat tipe, yakni: reactive machines (Deep BlueIBM Chess- playing yang bisa mengalahkan grand master internasional Garry Kasparov di akhir tahun 1990an), Limited memory – yang diaplikasikan dalam system pengendara otomatis mobil, theory of mind – yang mampu memahami emosi dan pikiran manusia dari pola perilakunya, serta self-awarness AI- yang mampu membuat keputusan berdasarkan ingatan akan pengalaman dan peristiwa masa lalu.[4] Bahkan dalam beberapa hal, kecerdasan buatan mampu memainkan peran secara lebih efisien dibandingkan kecerdasan manusia.
Tak hanya itu, teknologi buatan manusia sudah merambah dan mempengaruhi praktik keagamaan. Ketika pandemi terjadi, sebagian besar aktivitas gerejawi berlangsung secara online. Kini setelah pandemi berlalu, masih banyak orang memilih jalan ibadah secara online, mengambil bagian dalam sakramen secara online, memberi persembahan online. Belum lagi jika teknologi kehadiran virtual – seperti metaverse – makin berkembang, kehadiran maya dipandang sebagai jalan keluar atas sempitnya waktu dan ruang kehidupan manusia. Pelayanan pastoral dan konseling pun bisa dilakukan secara online (seperti dalam situs pastors.ai).
Pertanyaan selanjutnya, sejauh mana batas manusia untuk mentransfer kapabilitasnya pada mesin dan kecerdasan buatannya? Lalu apa perbedaan krusial antara otak dan pikiran alamiah manusia dengan mesin pengolah data yang semakin canggih, yang kini mengubah wajah peradaban itu? Ternyata tidak ada jawaban sepakat atas kedua pertanyaan tersebut. Itu terjadi karena konsep filosofis tentang kodrat manusia sangatlah beragam.[5] Bagi penulis hal paling mendasar yang tidak dimiliki oleh AI adalah kesadaran. Salah satu aspek yang paling esensial dari manusia adalah kesadaran. Dengan kesadaran yang baik, seseorang mampu memahami keadaan fisik, dan dirinya sendiri, serta memahami orang lain, kebutuhan, dan harapannya. Dan dengan itu manusia mampu merefleksikan makna dan belajar dari pengalaman, serta memikiki kendali penuh terhadap stimulus internal maupun eksternal. Melalui kesadaran manusia bisa tersentuh, tertawa, menangis, marah, merasa dekat dengan Tuhan, merasa berdosa, haus pengampunan, dan pertobatan, tumbuh solidaritas, toleransi, dan mampu mengasihi. Hal-hal tersebut nampaknya akan sangat sulit diperankan oleh AI.
BERKOLABORASI SECARA KRISTIS DENGAN ARTIFICIAL INTELLIGENCE
Di masa kini, AI telah semakin maju dan menguasai banyak informasi – termasuk informasi identitas, data keuangan, informasi intelejen, data sejarah, sehingga dapat diandalkan dalam mengambil keputusan dibandingkan otak manusia yang terbatas. Namun aspek emosi dan spiritualitas sulit dikodifikasi dan dimodelkan secara matematis. Sehingga kesadaran manusia, yang memang diciptakan Allah dengan secara lengkap dengan akal budi, emosi, dan spiritualitas, sulit direporoduksi oleh AI. Ketiadaan kesadaran pada AI membuatnya tak akan pernah dapat menjadi tuan atas manusia.
Hal lain yang tak boleh dilewatkan, manusia pernah menggunakan kebebasannya untuk melakukan pemberontakan kepada kehendak Sang Khalik. Karenanya, setiap penyimpangan yang terjadi pasti membawa risiko, yang membuat apa pun yang dilakukan serta dihasilkan oleh manusia pasti memilik kelemahan. Cepat atau lambat “dosa turunan” manusia juga akan bisa diwarisi oleh AI seiring dengan perkembangannya. Jika AI merupakan gambar manusia, maka penulis berpendapat secanggih apa pun AI tidak akan bisa melampaui kebebasan dan daya cipta, rasa, dan karsa manusia. Kehadiran AI tidak dapat menggantikan tanggung jawab teologis manusia di hadapan sesama, semesta, dan Allah. Analoginya, manusia sebagai ciptaan tak akan pernah mampu menyamai Sang Pencipta, demikian juga dengan AI. Sebagai ciptaan manusia, meski mampu mengimitasi dan mengolah data super kompleks, mengantisipasi perilaku, dan memberi saran seperti manusia, AI tak akan dapat mengambil alih tanggung jawab kita untuk melakukan pekerjaan baik yang Allah tetapkan di dalam kita sejak sebelum dunia dijadikan. Konsekuensinya, manusia sebagai sang pencipta AI, memiliki tanggung jawab etis terhadap perkembangan dan pemanfaatan AI di berbagai elemen dalam hidup sehari-hari.
Dalam perspektif teologi Kristen, pandangan Paulus dalam 1 Kor. 10:23 mungkin relevan jika dijadikan dasar fenomena ini, “Segala sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. Segala sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.” Kebebasan di sini, bukan saja tentang boleh atau tidak, melainkan tentang tuntutan tanggung jawab untuk mengarahkan setiap pilihan kepada hal yang bermanfaat dan membangun kehidupan.
KESIMPULAN
Manusia yang dicipta seturut gambar Allah diberi mandat untuk melakukan pekerjaan baik yang telah Allah siapkan sejak sebelum dunia dijadikan (Efesus 2:10). Sebagai gambar Allah yang memiliki daya cipta, rasa, dan karsa, manusia telah menciptakan AI sebagai alat bantu dalam berbagai lini, termasuk di dunia pendidikan. Oleh karena itu perkembangan AI perlu disambut dengan kacamata yang positif, dan diapresiasi sebagai berkat bagi kehidupan masa kini. AI sebagai gambar dari perkembangan peradaban modern memainkan peran signifikan bagi manusia, dan dapat dikontribusikan untuk menunaikan mandat budaya dan mandat pemberitaan Injil Kerajaan Allah. Di sisi lain, majunya peradaban tak boleh membuat kita terlena dan melepaskan tanggung jawab untuk mengawal perkembangan AI dengan sikap yang kritis dan konstruktif bagi kebaikan sesama dan semesta.
*Penulis adalah Pendeta GKI Darmo Satelit Surabaya, dan Ketua I PGI Wilayah Jawa Timur.
[1] Tegmark, M. Life 3.0: Being Human in the Age of Artificial Intelligence. Knopf. 2017.
[2] Shortliffe, E. H. Mycin: a Knowledge-Based Computer Program Applied To Infectious
Diseases. (1977). 66–69.
[3] Berendt, B., Littlejohn, A., & Blakemore, M. (2020). AI in Education: Learner Choice and Fundamental Rights. Learning, Media and Technology, 45(8), 312–324.
[4] https://theconversation.com/understanding-the-four-types-of-ai-from-reactive-robots-to-self-aware-beings-67616, diakses pada 3 April 2024.
[5] Tore Nordenstam, “Language and Action.” Dalam The Springer Series on Artificial Intelligence and Society) Magnus Florin, Bö Göranzon (auth.), Bo Göranzon, Magnus Florin (eds.) - Artifical Intelligence, Culture and Language_ On Education and Work. London, 1990: 61-62.
Comments
Post a Comment