Membangun Mezbah Keluarga dengan Kasih Kristus


 

Oleh: Agustina Purnawan, S.Si.Teol.

 

Dalam Alkitab, terutama Perjanjian Lama, mezbah merupakan sebuah tempat persembahan korban. Di sanalah persembahan dari umat kepada Allah dinyatakan, baik dalam rumah hewan-hewan yang di sembelih, maupun dalam rupa gandum, anggur, dan kemenyan yang dibakar di dalam terbuka. Sifat mezbah adalah sakral, diliputi suasana kekudusan, tempat dimana Allah dan umat-Nya saling mendekat, dan bahkan menjadi sarana umat untuk mencari perlindungan (1 Raj. 2:28). Dalam sejarah Israel, setelah bait suci Yerusalem didirikan sebagai pusat penyembahan nasional, secara resmi pendirian mezbah-mezbah lokal tidak lagi diizinkan.

 

Di Perjanjan Baru, Kristus, yang telah menjadi Imam Besar sekaligus Sang Korban Pendamaian yang Abadi menjadi pusat mezbah kehidupan orang percaya.

 

Picture of https://pngtree.com/freepng

Pertanyaannya, apakah mezbah keluarga masih diperlukan? Jawabnya tergantung apa motifnya. Jika pusat-pusat penyembahan dan korban dirupakan secara fisik, itu tak lagi diperlukan, sebab kita tidak menyembah Allah di gunung ini atau di gunung itu, melainkan menyembah dalam roh dan kebenaran. Di sisi lain, sesungguhnya seluruh kehidupan kita harus menjadi mezbah, Tuhan memanggil setiap orang percaya untuk memberi persembahan hidup yang kudus, dan berkenan kepada Allah. Itulah ibadah yang sejati. Oleh sebab itu mezbah keluarga jangan hanya dimaknai sebagai kumpul keluarga dan melakukan doa bersama saja. Itu penting, namun mezbah secara simbolik bisa lebih kaya dari itu.

 

Dalam perspektif Ef. 5:30-6:9, ketika anak-anak menaati orang tuanya, dan menghormati ayah ibunya, itu adalah mezbah, persembahan kasih dari anak-anak kepada Tuhan melalui orang tua. Ketika seorang ayah memperlakukan anaknya dengan lembut, dan mengajar mereka dengan bijaksana, itu adalah mezbah. Sebab seorang ayah sedang mempersebahkan pengabdiannya kepada Tuhan melalui anak-anaknya. Saat seorang istri secara berdedikasi menyiapkan makanan bagi seisi keluarga, itu adalah mezbah, persembahan yang jauh lebih harum daripada rengekan dan tangisan egoistik di ruang doa. Ketika hamba-hamba bekerja dengan jujur dan setia, itu adalah mezbah yang jauh lebih murni daripada hamba yang suka melakukan penyembahan namun pemalas dan tak setia. Ketika segala sesuatu kita perbuat dengan cinta kepada sesama dan diarahkan bagi kemuliaan Allah, itu adalah mezbah, sebab di sanalah ada persembahan kasih yang sangat harum dan disukai Allah. Ketika kita melihat sebagaimana Kristus melihat, merasakan yang Kristus rasakan, dan melakukan yang Kristus lakukan, maka seluruh kehidupan kita dan keluarga akan menjadi “mezbah yang hidup” dan menyatu dengan Sang Iman Besar dan Korban Pendamaian yang Sejati.

 

Oleh karena itu, mari membangun mezbah keluarga, bukan dengan cara latah tenggelam dalam kesalehan ilusif, melainkan dengan mendedikasikan cinta kita kepada keluarga, dengan semangat kasih dan untuk memuliakan Allah. Tuhan memberkati. Amin.

Comments

Popular posts from this blog

"Transformed Nonconformist" Spirituality: An Effort to Open the Eyes of Indonesian Christian Church"

BERTEOLOGI DI TENGAH KEMISKINAN

Memurnikan Hati, Menyambut Pengharapan