TANGGUH DAN BERTUMBUH


 Oleh: Andri Purnawan 

 

Meski kurva penularan COVID-19 gelombang kedua mulai menurun, dampak sampingannya belum mereda. Jumlah korban fisik (terinfeksi, meninggal, sembuh) secara global maupun nasional bisa dihitung. Namun korban mental dan spiritual tidak terdeteksi. Ada orang yang bertahan, dan ada yang tumbang akibat krisis multi dimensional yang timbul. Salah satu aspek penting yang membedakan kedua pihak itu adalah ketangguhan (resilience). 

Image: NaseriN | Getty Images


Karakter tangguh (resilience) bukan hanya bawaan lahir, melainkan dibangun melalui waktu, dan pengalaman berhadapan dengan krisis. Itulah mengapa orang merespon krisis (dampak pandemi) secara berbeda. Tangguh bukan hanya kuat, namun mampu menyesuaikan diri, luwes ketika berhadapan dengan tekanan internal dan eksternal. Empat puluh tahun lalu, Norman Garmezy- Profesor Emeritus University of Minnesota – Mineapolis melakukan studi mengapa banyak anak yang diasuh orang tua schizophrenia bisa bertumbuh “normal” dan tidak mengalami kelainan psikologis? Jawabnya adalah karena anak-anak itu punya ketangguhan tertentu yang berperan besar dalam kesehatan mental mereka. Sementara, Dianne Coutu, mengatakan bahwa orang yang tangguh punya tiga karakter utama, yakni menerima (berdamai dengan) kenyataan,  memiliki keyakinan/ iman yang mendalam, dan kemampuan luar biasa untuk berimprovisasi  terhadap keadaan. 

 

Kajian-kajian akademis di bidang neuro-psikologi telah mengajukan banyak teori tentang bagaimana cara menjadi seorang yang tangguh. Daniel Goleman, penulis “The Brain and Emotional Intellegence” dari Rutgers University mengusulkan dua jalan, yakni self-talking dan latihan otak. Goleman meminjam teori Richard Davidson yang mengatakan bahwa ketika seorang mengalami distress (tekanan yang buruk) aktivitas otak kanan depan akan meningkat. Masing- masing kita memiliki tingkat karakteristik aktivitas otak kiri/ kanan yang memprediksi rentang suasana hati kita sehari-hari. Jika kerja otak kita miring ke kanan, ada lebih banyak gangguan, jika ke kiri kita lebih cepat pulih dari segala jenis kesusahan. Bagaimana menstimulus agar otak cenderung ke kiri? Latihan mindfulness, sebuah praktik untuk melatih otak agar mengalami pergeseran dari kecenderungan ke kanan menuju sisi resilience di kiri, sehingga orang menjadi lebih bersemangat hidup dan bekerja. Mindfulness practice bisa dipraktikan dengan banyak jalan, salah satunya dengan berhenti sejak, memperhatikan dan merasakan nafas, menyadari pikiran dan suara yang mengganggu, lalu berupaya kembali berfokus tanpa harus mengatur nafas kita. Menurut penelitian, latihan memperhatikan nafas secara rutin selama delapan minggu/ 30 menit akan berdampak pada kecondongan otak untuk bergerak ke sisi resiliensi. Sementara Shawn Achor dan Michelle Gielan, mengatakan bahwa resilience is about you recharge, not how you endure.” Bukan belajar sampai jam tiga pagi, melainkan punya waktu istirahat yang cukup dan berkualitas. Karakter tangguh dibangun dalam proses kunci: berupaya keras, kemudian berhenti, berpulih, dan mencoba kembali. Oleh karena itu berpulih menjadi aspek penting. Berpulih bisa ditempuh dengan beristirahat sejenak dari aktivitas kerja yang penuh tekanan, maupun memanfaatkan waktu libur dengan membebaskan diri dari segala pikiran yang membebani. Jika libur, namun pikiran disesaki banyak hal lain, seperti bagaimana merenovasi rumah, komentar-komentar politik, perdebatan yang menguras emosi, maka otak tidak akan beristirahat dan kelelehan mental akan menyeruak. Oleh karena itu relaksasi, meditasi, tidur, melihat film, menulis jurnal dan menjauhkan diri dari gadget akan berkontribusi dalam pemulihan kita untuk kembali segar dan menghadapi tantangan. 

 

Secara teologis, ketangguhan dijangkarkan dengan persekutuan dengan Tuhan. Ayub 14: 7-9 mengumpamakan ketangguhan seperti pohon yang selalu bisa bertumbuh dan bertunas kembali meskipun ditebang. Bahkan ketika akarnya telah menjadi tua di dalam tanah dan tanggulnya mati dalam debu, akan bersemi kembali setelah dicium oleh air. Ayub 14 merupakan jawaban Ayub atas perkataan Zofar, orang Naama, mengenai pencobaan yang dialami oleh Ayub.  Secara jujur Ayub mengungkap pergumulan dan perasaan tertekannya. Penderitaan yang dialami membuat ia sadar betapa rapuhnya hidup manusia. Ia membandingkan hidup manusia yang bagai bunga itu tak lebih baik dari pohon. Hidup bagai bunga layu setelah berkembang, seperti bayang-bayang tak berbekas (Ayub 14:1-2), sementara pohon pun terlihat tangguh dalam berbagai kondisi ekstrim (ditebang, tua, mengahadapi kekeringan, dan mengalami siklus musim). Ungkapan satir Ayub juga terlihat ketika ia  ia menganggap bahwa kuasa Allah membatasi hari-hari manusia di atas bumi dan menghakimi manusia karena kesalahan dan dosanya ( 14:5, 18-22). Namun di tengah keluh kesahnya Ayub mengungkap optimisme iman, tentang bagaimana pun Tuhan penuh kasih, akan memanggil, merangkul, dan rindu pada buatan tangan-Nya (14:14-15), dan Allah akan mengampuni segala dosa dan kesalahannya (24:16-17). Kita tahu bahwa pergumulan Ayub makin terasa perih ketika berhadapan dengan nasihat-nasihat sok spiritual dan sok tahu tentang Tuhan dari kawan-kawannya Zofar, Bildad, dan Elifas yang cenderung menyalahkan Ayub (hanya Elihu yang memahami dan menguatkannya). Namun Ayub mampu berimprovisasi dengan tekanan itu. Ia tidak membiarkan kawan-kawannya membuatnya makin terpuruk, malah ia memberikan pertanggung jawaban teologis atas keadaan yang sedang ia alami. Di sini kita melihat ketangguhan Ayub. Ia menerima kerapuhannya, memiliki keyakinan mendalam tentang Tuhan, dan mampu berimprovisasi terhadap tekanan yang ia alami. Dengan ketangguhan dan kesetiaannya kepada Allah, Ayub pada akhirnya tidak menanggung malu, dan kehidupannya dipulihkan, bahkan lebih baik dari sebelumnya. Melalui krisis yang ia alami Ayub melihat kehidupan dan Tuhan yang berdaulat dengan cara yang berbeda. 

Di konteks sekarang, pandemi telah membuat banyak orang takut, kuatir, dan bahkan frustasi. Kita perlu jujur melihat dan menerima kenyataan, namun jangan larut di dalam ketakutan dan kekuatiran. Sebaliknya tetaplah miliki keyakinan bahwa Tuhan itu baik, Ia akan membawa kehidupan dan semesta dalam pembaruan yang tak terbayangkan, dan kita akan bersukacita telah dilibatkan Allah dalam sejarah pembaruan itu. Selain itu, tetaplah memiliki semangat dan kreativitas untuk terus teguh, tidak goyah, dan setia dalam peribadatan, persekutuan, kesaksian, dan pelayanan. Indonesia membutuhkan orang-orang yang tegar dan tangguh. Merekalah yang akan menjadi penyelamat bangsa ini dari keterpurukan. Semoga saudara dan saya termasuk salah satunya. Selamat mensyukuri kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-76. -@’Ndrie-

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

"Transformed Nonconformist" Spirituality: An Effort to Open the Eyes of Indonesian Christian Church"

COMPARATIVE STUDY OF “PERFECT MAN” in IBN AL-ARABI and RANGGAWARSITA TASAWUF

BERTEOLOGI DI TENGAH KEMISKINAN