Menjemput Senja


Oleh: 

Dewi Kirana Charistea*

 



gambar diunduh dari phinemo.com

Agustus adalah bulan bersejarah. Tujuh puluh enam tahun lalu, di bulan ke delapan, negeri ini terbebas dari belenggu. Bagiku Agustus juga tak terlupakan. Sejenak aku melamunkan memori kocak penuh makna. Memori yang merangkai kisah perjuangan antara aku, Rama, dan Senja. 

 

Pagi itu, Sang Saka Merah Putih menari-nari ditiup angin, menjulang ke langit biru dan berkibar di sebuah tiang putih. Lapangan luas itu disesaki masyarakat dengan berbagai profesi dan usia. Aku menengok ke kanan kemudian ke kiriku, “Ren, jaga tempatku ya,” ujar kawanku, Rama yang berbaris tepat di sebelahku. Sejurus kemudian ia sudah menghilang bak ditelan bumi, entah dia mau ke warung Bu Siti atau apa aku tak sempat bertanya. Tapi akhirnya aku menyesal tak bertanya, karena sampai sepuluh menit berlalu kawanku itu tak kunjung kembali. Semua tatapan kini tertuju padaku. Lelah juga aku merenggangkan kaki untuk menjaga tempatnya. “Renjana!,” tegur guruku yang mengira aku sedang istirahat di tempat padahal upacaranya baru dimulai. Tak punya pilihan, aku pun kembali ke posisi normalku sambil berharap Rama cepat kembali. 

 

Tanpa kusadari Sang Dwi Warna sudah di bentangkan, Lagu Indonesia Raya siap dikumandangkan. Sontak, serentak barisan-barisan itu mengambil sikap hormat. Aku masih sempat mengalihkan pandanganku ke sebuah sudut lapangan. Seorang gadis jangkung berseragam pramuka penggalang berlari terbirit-birit bak dikejar setan. Mimik wajahnya membuatku geli! Ia kemudian tolah-toleh mencari tempat untuk berbaris. Lama-kelamaan aku iba padanya, sudah salah seragam, terlambat, tak dapat tempat pula, jadi aku pun melambai dari sisi lain lapangan. Ia tersenyum lega seolah pernah mengenalku, kemudian melangkah menghampiriku. “Tempatnya ini kosong?” tanyanya padaku. Aksen Jawa Baratnya cukup kuat untuk meyakinkanku bahwa dia bukan dari sini. “Seratus persen!” jawabku kemudian. Ia manggut-manggut sambil tersenyum kemudian kami pun melanjutkan apa yang seharusnya kami lakukan sedari tadi. Entah waktu baru saja membeku atau apa, faktanya kami belum ketinggalan apapun! Oh, tunggu-- itu bukan waktu yang turun tangan, sound sistem kampung kami kumat lagi. Ya… kurasa begitulah cara kerja semesta. 

 

“Senja,” Kata gadis itu padaku seusai upacara. Ia kemudian menjabat tanganku dengan cara yang tidak biasa. “Renjana,” jawabku kemudian. Tiba-tiba tersadarlah aku bahwa sedari tadi kawanku Rama harus berbaris di pojok lapangan bersama segerombolan anak TK. Aku dan gadis itu pun tertawa terbahak-bahak sambil berjalan menuju Rama. Kawanku itu menatap tajam padaku, aku membalas tatapan tajamnya dengan senyum yang entah harus kusebut apa. 

“Siapa lagi ini?” tanya Rama tiba-tiba, seolah ia sudah bertemu ribuan orang minggu ini. “Senja, namaku Senja!” jawab gadis periang itu.  Kemudian berlanjutlah percakapan dua orang itu, aku hanya menyimak.

 

“Punya pengalaman dapat nilai sempurna di mapel Bahasa Indonesia?”  

 

“Ya.”

 

“Pernah di panggil guru BK?”

 

“Sering!”

 

“Bagus, pernah baca salah satu karya Andrea Hirata atau Dostoevsky?”

 

“Laskar pelangi pernah, baru baca prolognya tapi kelihatannya menarik tuh!”

 

“Wah bagus, bagus....”

 

“Selamat Senja, kamu masuk tim Agustusan kami!”  ujar kawanku setelah lama terdiam. Oh, soal “tim Agustusan” ini, Rama dan aku berniat mengikuti lomba  Agustusan di kampung kami. Kalau di kampung lain hanya lomba makan kerupuk, lomba balap karung, lomba menangkap belut, lomba panjat pinang, di kampung kami ini ada lomba tambahan yang tak kalah sangarnya; lomba menghafal 101 kata dalam KBBI beserta artinya, lomba membaca teks proklamasi tapi harus serentak dalam jarak 5 meter, lomba menulis dalam kelompok yang harus pas seribu satu kalimat dan yang paling ikonik, lomba menemukan sepeda merah Pak RT yang hilang sepuluh tahun lalu (ceritanya dulu disembunyikan untuk lomba, tapi Pak RT sendiri lupa dimana menyembunyikannya; ya, begitulah). Nah, tahun ini aku dan Rama mencoba masuk ke lomba menulis karya sastra 1001 kalimat, yang membutuhkan tiga orang dalam tim dan disitulah tantangannya dimulai…

 

Aku duduk berhadap-hadapan dengan Rama di sebuah bangku di warung Bu Siti yang sunyi. 

Hanya bunyi jam dinding yang mengiringi kebosanan kami. Diam, sepi, Membuat setiap jiwa yang lewat bertanya-tanya: “Sedang menunggu apa dua bocah ini?” Aku memainkan jari-jariku, Rama hanya menatapku dan tak sekalipun mengalihkan pandangannya dariku seolah takut aku hilang tertiup angina atau semacamnya, sungguh tatapan mautnya membuatku ngeri. Ah, kemana sih Senja? Rumahnya kan dekat. Tahu-tahu Senja sudah berada di sebelahku, aku melonjak girang, mengusir berbagai aura kebosanan di sekelilingku. “Akhirnya tiba juga!” kataku menyambut Senja. “Iya, maaf Rena, Budi aku harus berjalan ke sini karena abangku yang bersihan itu melarang keras aku pinjam sepedanya setelah kena comberan ketika kupakai kemarin.” (Aku masih sering tertawa mengingat bagaimana  Senja memanggil Rama dangan “Budi”) Kami pun langsung mulai menyatuan pikiran, tapi sungguh tak akan kusangkali, menyatukan pikiran tiga kepala itu sulit!

 

Ide kami sudah terkumpul dalam waktu 2 jam, aku dengan cepat langsung merangkumnya. Dan yang kami tunggu-tunggu, masyarakat dari berbagai penjuru kampung berkumpul di balai warga. Giliran kami hampir tiba, Senja sudah siap membacakan cerita yang kami tulis ketika tiba-tiba, tanpa kami duga tubuhnya ambruk menyentuh tanah. “Eh pingsan, pingsan!” Rama dengan cepat menyambar sebuah sepeda merah yang terparkir di warung Bu Siti dan segera melarikan gadis itu ke Puskesmas terdekat, aku mengejar di belakang. 

 

Menyusul Rama dan Senja, aku berlari sekuat tenaga dan dengan napas yang tersisa aku meneriakkan nama Senja. “Penyakit saraf kata dokter, dia bisa bertahan tujuh tahun lagi.” Aku langsung mematung mendengar perkataan Rama. Bagaimana Senja menjabat tanganku dengan cara yang tidak biasa, bagaimana ia kesulitan berjalan walau jarak dekat, selama ini itu semua karena penyakitnya dan ia tetap berjuang bersama kami? Senja keluar dari ruangan itu dengan sebuah kursi roda menghantarnya. “Kenapa menungguku?”  “Senja, kalau kami harus berjuang kami berjuang bersamamu.” 

 

Segala yang kami siapkan untuk lomba tak mungkin lagi disajikan, karena ketika kembali ke tempat kompetisi, lomba telah usai, pemenang telah diumumkan, yang tersisa hanya panggung tanpa juri. Namun kami tak merangkul penyesalan, sebab kami telah memeluk solidaritas dalam persahabatan. Dalam benakku lomba-lomba itu tak lebih dari hiburan dan seru-seruan perayaan kemerdekaan, namun bersama Senja dan Rama aku belajar makna perjuangan dan keikhlasan, bahwa di saat tergenting pun manusia tetap lebih penting dari piala. Karenanya kami pulang dengan dengan senyum kemerdekaan. 

 

Suara ribut membangunkan lamunanku tentang Agustus lalu. Sepeda onthel merah itu melaju dengan kecepatan angin. Bocah berseragam putih-biru yang mengendarainya menjadi sorotan satu kampung. “Alon-alon le!” Heboh sekali kampungku pagi itu. Seperti dalam acara TV favoritnya, ia berusaha melakukan trik three sixty melompati gerobak sayur yang terparkir di ujung jalan (sebelum dicegah oleh yang punya gerobak). Karena tak jadi melakukan aksinya Ia kembali melaju dengan sepedanya. “Rama! Kemana? Lah kok buru-buru sekali,” tanyaku padanya. Ia berhenti mengayuh dan menjawab dengan singkat: “menjemput Senja!” Aku tahu apa yang dimaksudnya. Aku mengangguk dan tanpa basa-basi lagi Rama kembali mengayuh si merah.




*Penulis adalah Si Sulung yang sedang duduk di bangku (virtual) SMP kelas 7. 

                                                                                                            

Comments

  1. ahh, bakat dari Tuhan, kelas 7 sudah bisa merangkai kata dan cerita yg indah dan bermakna.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

"Transformed Nonconformist" Spirituality: An Effort to Open the Eyes of Indonesian Christian Church"

COMPARATIVE STUDY OF “PERFECT MAN” in IBN AL-ARABI and RANGGAWARSITA TASAWUF

BERTEOLOGI DI TENGAH KEMISKINAN