Cintaku Pada Rumahmu


Bacaan: Yohanes 2:13-22

Oleh: Pdt. Andri Purnawan 

 

 

Cinta yang sejati mentransformasi dan menyempurnakan, tak hanya membuai dan membuat nyaman. Cinta kepada Rumah Allah tak berarti tunduk takzim dalam jeratan sistem keagamaan yang dibangun oleh manusia, melainkan menggelorakan kesadaran pada yang hakiki, yakni Allah memberi anugerah dan merangkul umat manusia. Perintah Yesus agar rumah Bapa tidak dijadikan tempat berjualan, tidak berhubungan dengan larangan menjual buku di kolportage, atau makanan di kedai gereja. Penjualan buku dan makanan di gereja diselenggarakan dalam rangka mempermudah jemaat, bukan mempersulit. Sementara “pasar resmi” bait Allah merepresentasikan kenyataan eksploitatif lembaga agama terhadap pemeluknya. 

 

Bait Allah merupakan simbol kehadiran Allah di tengah umat manusia. Lalu mengapa Yesus yang adalah “Sang Bait Allah Sejati” harus murka terhadap religious market place di Yerusalem? Jawabnya adalah karena di bait suci terdapat eksploitasi bagi mereka yang mencari anugerah dan pengampunan Allah. Terdapat  penghalang- yang tidak perlu, yang merintangi orang untuk datang berbakti dan menyembah Allah. Yesus muak terhadap mereka yang ingin mendapatkan keuntungan material atas iman dan kerinduan berelasi Allah. Kemarahan Yesus adalah sebuah perlawanan atas sistem Bait Allah, yang mengharuskan orang membayar untuk mengakses Allah. Memang, bisa saja keuntungan dari religious marketplace itu dipergunakan untuk biaya operasional Bait Allah. Namun transaksi penukaran uang dan penjualan hewan kurban juga mendatangkan keuntungan bagi elit Bait Suci. 

 

Sistem yang digugat Yesus adalah sebagai berikut: Allah maha kudus, setiap orang yang ingin berjumpa Allah harus disucikan, agar suci seseorang harus mempersembahkan kurban, hewan kurban haruslah “yang terbaik dan tanpa cacat,” hewan yang pasti dianggap layak adalah yang dibeli dari pasar resmi bait Allah dengan harga yang mahal, untuk membayarnya orang harus membeli dengan uang khusus sebab mata uang romawi tidak dapat menebus korban. Maka, seseorang harus membeli dulu uang khusus tersebut, dengan harga yang mahal pula. Kesimpulannya, mengakses Allah adalah hal yang mahal, dan orang harus mau membayar harganya. Dampaknya Allah kian tak terjangkau bagi mereka yang miskin. Dari sini kita melihat kemarahan Yesus terhadap institusi monopolis Bait Allah punya dua dimensi: pertama, marah karena kekudusan dan anugerah Allah dijadikan barang dagangan.  Kedua, Yesus marah terhadap ketidak adilan, dan marginalisasi terhadap yang miskin.

 

Yesus bukan sekedar ingin mengkritik manajemen Bait Allah, melainkan ingin menjungkirkan keseluruhan system. Di balik kemarahan itu, seolah Yesus menegaskan bahwa Bait Allah itu sendiri sesungguhnya tidak lagi diperlukan! Buktinya, Yesus berulang kali menubuatkan keruntuhan Bait Allah (Mat. 24:1-2; Mrk. 13:1-2; Luk. 21:5-6). Sungguh ini adalah sebuah aksi subversive.  

 

Apa yang dilakukan Yesus menggenapi nubuat Zakharia 14:21, Kemenangan terakhir TUHAN menjadi Raja di Yerusalem, “…Dan tidak ada lagi pedagang di rumah TUHAN semesta alam pada waktu itu.” Yesus adalah bait Allah yang baru (ay.22); melalui Yesus kita berjumpa dengan Allah. 

 

Pertanyaan, apakah kita sudah lebih baik dari religious marketplace yang dijungkirbalikkan Yesus? Apakah gereja kita sudah menjadi rumah doa? Mungkin gereja kita tak menerapkan explicit charging, seperti kewajiban membayar sewa Gedung dalam pelayanan pernikahan, kedukaan, dsb. Namun bukankah tanpa sadar kita sering terjerembab dalam implicit charging, misalnya terlalu mengurusi what people wear, how they smell, how they look, are they able to get into the church? Jika gereja tak lebih dari religious marketplace maka gereja pun akan dijungkir balikkan oleh Yesus. Mari bertobat!  

Comments

Popular posts from this blog

"Transformed Nonconformist" Spirituality: An Effort to Open the Eyes of Indonesian Christian Church"

COMPARATIVE STUDY OF “PERFECT MAN” in IBN AL-ARABI and RANGGAWARSITA TASAWUF

BERTEOLOGI DI TENGAH KEMISKINAN