Hadirnya Perempuan: Sebuah Paralelisme antara Diskriminasi Rasial dan Gender

Kematian George Floyd pada 25 Mei 2020 memicu ledakan amarah sebagian besar public Amerika. Ada meluapkan dengan amuk, penjarahan, pembakaran di berbagai kota. Juga dalam beberapa minggu terakhir puluhan, bahkan ribu ratusan ribu orang memprotes rasialisme dan menuntut keadilan ras ditegakkan. Di Amerika sendiri perlawanan terhadap rasisme, terutama oleh masyarakat kulit putih terhadap kulit berwarna telah terjadi selama berabad-abad. Bahkan salah satu pahlawan Amerika, Dr. Martin Luther King Jr., yang adalah pemimpin Civil Rights Movement(Pergerakan Hak-hak Sipil), terbunuh karena kebencial rasial. Rasisme dalam kadar tertentu bakal membuat orang tega merayakan kematian sesamanya, meledakkan tempat-tempat ibadah, dan bahkan berpuncak pada hasrat menghilangkan golongan tertentu, seperti juga  upaya genosida terhadap orang Yahudi di Jerman pada masa Hittler. 

Rasisme berawal dari perasaan superior terhadap diri dan golongannya, dan dalam waktu yang sama melihat orang lain sebagai pihak yang lebih rendah. Prasangka rasial bisa menjadi kejahatan rasial ketika diejawantahkan dalam struktur yang berpihak pada ras tertentu dan menindas ras lain. Di sanalah kemudian konstruksi sosial terhadap rasisme punya daya cengkeram yang kuat. Jane Elliot, seorang pendidik dan aktivis anti rasisme, pada tahun 1965 dengan percobaan sederhananya membuktikan bahwa perilaku rasis terjadi karena konstruksi sosial. Ia yang adalah seorang guru membagi kelasnya dalam dua kelompok, satu kelompok diberi selendang cokelat untuk mewakili tim”mata cokelat”, dan kelompok lain diberi selendang biru untuk mewakili “tim mata biru.” Elliot kemudian memberi tahu bahwa tim mata cokelat adalah tim yang lebih pintar, lebih bersih, dan memberi hak-hak istimewa seperti waktu bermain lebih. Sementara tim mata biru dicap sebagi pengacau, dan tim mata cokelat diberi tahu untuk tidak menggunakan gelas yang sama dengan mata biru, agar tidak tertular. Dalam waktu singkat, anak-anak mata cokelat menjadi lebih percaya diri, merendahkan, dan bahkan berlaku kasar terhadap anak-anak bermata biru. Percobaan Elliot itu menjadi popular dan selama bertahun-tahun ribuan orang di negara-negara seluruh dunia mempraktikkannya. 

Intinya rasisme itu dikonstruksi atau dibangun, dibentuk dari kebiasaan, mempengaruhi cara pandang terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain. Setiap orang, baik berpendidikan atau tidak, miskin atau kaya, tua atau muda bisa menjadi rasis jika terus dilatih untuk memberi label kepada sesamanya. Di Indonesia sendiri rasisme makin menguat setelah di akhir abad 19 undang-undang kompeni membagi masyarakat menjadi 3 lapis, yakni masyarakat Western (Belanda dan pribumi Kristen/ Katholik), Eastern (imigran dari Tiongkok, India, Arab dan keturunannya), serta pribumi/ inlander. Meski Indonesia tak lagi dijajah Belanda, warisan konstruksi sosial yang memecah belah dampaknya masih bisa dirasakan sampai sekarang, terutama kebencian orang pribumi terhadap keturunan tionghoa, dan juga begitu sebaliknya. Bahkan di sekolah-sekolah Kristen, masih saja didapati perilaku rasis juga dipertontonkan para siswa terhadap gurunya; karena sehari-hari mereka melihat perilaku diskriminatif yang diperagakan oleh orang tuanya. Sungguh ini keadaan yang memprihatinkan. 


Sealiran dengan rasisme, dikriminasi gender juga demikian. Perlakuan diskriminatif (pilih kasih) terhadap perempuan di masa kini merupakan buah dari labelisasi bahwa laki-laki lebih baik, lebih kuat, lebih rasional. Laki-laki dianggap sebagai pelindung, pemimpin, pewaris harta, penentu masa depan, sementara perempuan lebih lemah, tidak stabil, cerewet, tidak rasional- sensitif, dan seterusnya. Warisan budaya patriakal yang demikian membuat sebagian perempuan selama berabad-abad, bahkan selama ribuan tahun diperlakukan dengan tidak adil. Bahkan salah satu tokoh gereja sebesar Thomas Aquinas pun, mewarisi pemikiran Aritoleles yang menganggap perempuan sejatinya merupakan “laki-laki yang diciptakan secara tidak sempurna.” Oleh karena itu perempuan harus bersedia ditempatkan di bawah laki-laki. Orang kuno bilang, tugas perempuan adalah macak, manak, masak, konco wingking (yang hanya boleh berada di dapur), swarga nunut, neraka katut.

Tak hanya itu, agar para perempuan tak mendominasi laki-laki, tradisi rabinik Yahudi punya legenda tentang Lilith. Nama Lilith diambil dari Yesaya 34:14, dalam TB LAI diterjemahkan sebagai hantu malam, namun teks asli Ibraninya adalah  לִילִית (liyliyth). Alkisah Lilith hidup rukun dengan Adam sampai suatu saat ia bersikeras untuk memperoleh posisi lebih tinggi, namun Adam menolak. Kemudian Lilith melarikan diri ke Mesir, lalu hidup dalam keputusasaan dan kecemburuan, sehingga selalu berupaya membunuh bayi-bayi yang dilahirkan oleh perempuan keturunan Hawa (Douglas A. Knight & Amy-Jill Levine, The Meaning of the Bible. 2011, 298). Dari legenda itu ditekankan agar perempuan tidak menjadi seperti Lilith, si hantu malam, yang durhaka terhadap suami. Dalam budaya yang sangat patriarchal itu pula banyak penafsir Yahudi kuno cenderung menempatkan perempuan sebagai biang penderitaan.  Misalnya Jesus ben Sira (awal abad kedua BCE) berkata, “Dari perempuan lah dosa berawal, dan karena dialah kita semua binasa” (Sir. 25:24). Konstruksi sosial tentang posisi perempuan yang telah mandarah daging itu sangat berbahaya, dan bisa punya daya rusak seperti rasisme. 

Dalam Kejadian 2:18, dikatakan TUHAN Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong bagi-Nya, yang sepadan dengan dia.” Frase penolong yang sepadan berasal dari istilah Ibrani עֵ֖זֶר כְּנֶגְדֹּֽו׃ (ezer kenegdo). Kata Ezer disebut 21 kali dalam PL, yang berarti penolong yang lebih mampu, lebih kuat, lebih tinggi. Kata ini mengungkap tentang bantuan (militer), sehingga dengannya seseorang atau sebuah bangsa bisa bertahan dan menang. Dalam PL,  kata ezer juga digunakan untuk mengungkapkan identitas Allah. Misalnya Mazmur 33:20, “Jiwa kita menanti-nantikan TUHAN. Dialah penolong dan perisai kita!” Bahkan rumusan votum dalam ibadah kita, yang berasal dari Mazmur 124:8, “Pertolongan kita adalah dalam nama TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi,” juga menggunakan kata ezer. Jadi ezer itu bukan helper dalam arti pembantu atau asisten, yang tak boleh direndahkan. Sementara itu, kata kenegdo berasal dari kata neged, yang berarti in front of, atau bisa diterjemahkan sebagai other side, atau pasangan, atau dalam bahasa jawa garwa: sigaran nyawa atau belahan jiwa. Dengan demikian, sejak semula Tuhan menentapkan agar laki-laki dan perempuan berpartner, sebagai rekan yang serasi, untuk saling menolong, saling menopang. 

Memang, ketika perempuan jatuh, seluruh dunia turut terjatuh. Namun, jangan lupa bahwa Allah juga memilih hadir di dunia dalam Tuhan Yesus melalui rahim seorang perempuan. Para perempuanlah yang setia mengikuti Yesus hingga ke salib. Para Perempuan pula lah yang menjadi saksi kebangkitan Kristus. Tanpa perempuan tidak akan ada kehidupan. Oleh karena itu hargailah dan cintailah perempuan, sebagaimana Tuhan mencintainya dan mencintaimu. 

Berbahagialah para perempuan, dan berbahagialah mereka yang mengasihi perempuan seperti ia mengasihi Tuhan Sang pencipta langit dan bumi. Amin. 

Comments

Popular posts from this blog

"Transformed Nonconformist" Spirituality: An Effort to Open the Eyes of Indonesian Christian Church"

COMPARATIVE STUDY OF “PERFECT MAN” in IBN AL-ARABI and RANGGAWARSITA TASAWUF

BERTEOLOGI DI TENGAH KEMISKINAN