Validasi Respon di Masa Pandemik dalam Perspektif Eskhatologis Matius 24:4-39 (sebuah refleksi)


Pernahkah Anda mendengar istilah social validation (pengesahan social)? Sebuah pemikiran, sikap dan perilaku dianggap sah jika ada dukungan orang banyak. Misalnya, mau membeli barang apa pun, atau menggunakan jasa seperti hotel, restaurant, memilih film, maupun jasa online, kita biasanya terlebih dahulu memperhatikan review (ulasan) orang lain. Ada ulasan yang berkualitas berupa testimoni edukatif- berisi penjabaran kenyataan; namun juga kebanyakan hanya bersifat informasi sepenggal, subyektif, hanya berupa angka, tanda bintang, atau bahkan hanya tanda like (jempol ke atas) or dislike (jempol ke bawah). Makin banyak jempol (ke atas)nya berarti makin valid/ atau makin sah untuk diikuti. 

Hidup berpatokan pada social validation ada manfaatnya, namun sekaligus ada kerugiannya. Bermanfaat karena kita tidak akan jatuh ke lubang yang sama, yang telah dialami orang lain;  dan memilih sesuatu yang setidaknya telah dirasakan dampak positifnya oleh orang lain. Dalam menghadapi tantangan baru, di tengah ketidakpastian, sikap yang paling bijak adalah belajar dari orang lain.  Di sisi lain kerugiannya, kita akan mengalami kebingungan, sebab setiap pihak punya pengalaman dan pendapat yang berbeda, yang pada akhirnya membuat kita mabuk informasi, makin panic dan frustasi. 

Yesus pernah bersabda kepada murid-muridnya dalam Matius 24:4…, “Waspadalah supaya jangan ada orang yang menyesatkan kamu!”

Apa yang perlu diwaspadai dan perlu dilakukan? 
1.     Waspadai optimisme rohani yang memberi pengharapan semu 
Dalam Mat. 24:5- “banyak orang akan datang dan memakai nama-Ku, Akulah Mesias (hamba Tuhan yang diurapi) dan mereka akan menyesatkan banyak orang.” Yang diikuti banyak orang belum tentu sebagai yang benar. Sebab Yesus berkata, “di mana ada bangkai di situ burung nazar (pemakan bangkai) berkerumun.” – Mat. 24:28. 
2.     Waspada tanpa gelisah dan panik
“Sebab semuanya itu harus terjadi” (24:6). Oleh karena itu kita perlu mengalir bersama skenario Sang Pemilik Kehidupan. Ibarat sedang diterjang arus deras, melawan arus- ngotot, bakal  membuat kelelahan dan tenggelam; panik juga akan membuat kita gelagapan dan mati. Ikuti, perhatikan dengan seksama, jalani hari dengan mengalir, ikhlas, rendah hati, sampai aliran arus deras itu membawa kita ke tepian, dan kita selamat. 
3.     Punya sense of crisis
Bersikap responsif terhadap krisis tentu saja itu tidak mudah, menimbulkan rasa bersalah, membuat kita bertanya-tanya, benarkah yang sedang kulakukan ini? Sikap responsif membutuhkan kesediaan untuk keluar dari pola rutinitas kita.  Yesus menggambarkannya dalam Mat. 24:16-18:  
a.     Orang-orang di Yudea harus melarikan diri ke pegunungan, 
b.     Yang di atas atap rumah, jangan turun mengambil sesuatu di dalam rumah, 
c.     Yang di ladang jangan kembali untuk mengambil pakaian/ jubahnya. 
d.     Matius 24:38-39, memberi contoh bagaimana Nuh secara responsif menghadapi bencana yang “Allah ijinkan terjadi.” Nuh dan keluarganya masuk ke dalam bahtera; sementara orang-orang lain (“yang merasa beriman”) justru mengejek Nuh, namun pada akhirnya mereka binasa.


Picture taken from CNN.com 
Di situasi genting ini, mari belajar untuk membuka hati, pikiran, dan lentur menjalani kehidupan. Percayalah bahwa Allah hadir dan bekerja di kala suka maupun derita, ketika hidup aman maupun saat wabah mendunia. Maka tetaplah mengalir dalam rencana Allah, yang pada akhirnya akan mendatangkan damai sejahtera sejati bagi kehidupan. 

oleh: Andri Purnawan




Comments

Popular posts from this blog

"Transformed Nonconformist" Spirituality: An Effort to Open the Eyes of Indonesian Christian Church"

COMPARATIVE STUDY OF “PERFECT MAN” in IBN AL-ARABI and RANGGAWARSITA TASAWUF

BERTEOLOGI DI TENGAH KEMISKINAN