PENTINGNYA TITIK PIJAK


Tak seperti yang diyakini oleh para Teolog Pembebasan, Alkitab tak selalu menceritakan tentang Allah sebagai Sang Pembebas. Tak jarang Ia digambarkan sebagai Allah yang menindas, misalnya menindas bangsa-bangsa Kanaan demi memuluskan upaya invasi Israel atas Kanaan. “If God of Israel is also the God of all nations, why does God fulfill justice by annihilating other nations?”(Chan-Hie Kim, Reading Bible as Asian Americans; The New Interpreter Bible, p.165).  

Dari apa yang tergambar di atas, kita diingatkan betapa vital peran titik pijak. Dimana kita berpijak, darisanalah perspektif kita terbentuk. Jika direnungkan, hampir semua ketegangan dalam kehidupan tak melulu disebabkan oleh pertentangan antara baik dan jahat, benar dan salah, melainkan karena perbedaan perspektif/ sudut pandang. Mereka yang sama-sama berhati mulia bisa bertengkar oleh sebab beda kacamata dalam menakar kenyataan.  

Taruhlah contoh, isu Papua yang akhir-akhir ini masuk dalam tahap yang begitu mendebarkan. Mereka yang berpihak kepada Papua tentu akan punya perspektif yang sangat berbeda dengan yang berdiri di sisi NKRI harga mati. Sementara yang berpijak di tengah-tengah pun akan punya sudut pandang yang berbeda dengan kedua pihak yang lain. Jika  ujaran munyuk (monyet) diletakkan di atas meja dan dibedah, maka hasilnya sangat bergantung pada siapa yang membedah dan apa pisau analisisnya. Bagi orang Surabaya asli, yang terkenal blak-blakan dan ekspresif, mungkin ungkapan munyuk, jangkrik, jancuk adalah ekspresi multidimensional, bisa dalam rangka memuntahkan kemarahan maupun persahabatan, bisa diungkap dalam intensi yang serius, namun juga tak jarang tertumpah begitu saja. Apalagi jika suasana tegang telah dididihkan oleh provokasi, maka ekspresi makian itu akan terasa sangat dahsyat dan menikam harga diri. Namun begitu semua terungkap, emosi mereda tanpa kesumat. Lain halnya dari perspektif orang Papua, yang terbiasa hidup dalam budaya saling menjaga, tidak mengumpat, ramah pada orang asing, asal jangan dilukai martabat pribadi ataupun komunalnya. Seruan munyuk –apalagi ditambah “pengusiran” bagai tikaman tombak, merobek dan menyemburkan darah ketersinggungan dan amuk – yang tak dapat dipahami oleh orang Jawa. Tak heran jika himbauan Presiden Jokowi untuk memaafkan justru diresponi dengan ketersinggungan, gejolak dan kemarahan yang lebih dahsyat. Bagi para pejuang kebebasan, Benny Wenda adalah pahlawan, bagi yang lain, ia adalah pengkhianat dan dalang kerusuhan. Bagi para aktivis pergerakan, Veronica Koman layak diapresiasi karena keberanian dan kepeduliannya terhadap Papua, namun bagi yang lain ia adalah sosok tak tahu diri, yang tidak layak didampingi.  

Sadar akan perbedaan titik pijak akan membuat kita tak mudah menyederhanakan persoalan, dan secara reaktif memberi tanggapan. Di sisi lain, perlu dipahami bahwa perbedaan perspektif tak harus selalu menghasilkan oposisi biner.  Sejarah telah membuktikan, meski tak pernah sepi dari gejolak, Indonesia yang majemuk, tetap bisa menjadi satu karena adanya niat kuat untuk menggapai kebaikan bersama. 

Ketika deretan kalimat ini saya tulis, tiba-tiba ada suara bergema di benak, “Lalu kamu sendiri, dimana titik pijakmu?”Segera saya menoleh ke arah pisang di samping saya. Mengambil satu, mengupas, dan menggigitnya, sambil mengingat filosofi di balik pisang - gedhang :  digeged bubar madang (digigit  setelah makan), namun juga bisa diartikan digeged ben padhang. Jangan buru-buru bereaksi, kunyah dulu setiap persoalan sampai ada titik terang! -@’Ndrie-

Comments

Popular posts from this blog

"Transformed Nonconformist" Spirituality: An Effort to Open the Eyes of Indonesian Christian Church"

COMPARATIVE STUDY OF “PERFECT MAN” in IBN AL-ARABI and RANGGAWARSITA TASAWUF

BERTEOLOGI DI TENGAH KEMISKINAN