DUDUK BERSAMA YANG BERBEDA



Di sebuah Minggu pagi, dalam perjalanan dari Harvard Avenue ke Old South Church Boston, saya melihat seorang perempuan Afro America usia setengah baya membawa beberapa kotak container bekas   berukuran 60 cm3, yang dipungutnya dari pinggir jalan. Di USA orang punya kebiasaan meletakkan barang - baik elektronik maupun furniture -  dengan kualitas baik yang sudah tidak dibutuhkan di depan rumah. Siapa saja yang membutuhkan boleh membawanya. Tentu naik kereta dengan membawa beberapa kotak besar terkesan ribet. Atas alasan keribetan itulah saya dan orang lain memilih untuk tak duduk di sebelah perempuan kulit hitam itu. Beberapa saat kemudian, di perhentian kereta depan BU East, naiklah seorang  perempuan setengah baya kulit putih dan terlihat mencari tempat duduk. Saya berdiri menawarkan tempat duduk kepadanya, tetapi ia menolak dan memilih untuk duduk di sebelah perempuan Afro Amerika itu sambil berkata, Do you mind if I sit next to you? Respon perempuan Afro-Amerika itu membuat tertegun, “Oh…of course, it’s super rare for beautiful white people to sit with me on the train.” Di tengah sebagian besar orang yang  menghindari keribetan  bersebelahan dengan “yang lain”,  kehadiran ibu yang mau duduk bersama dengan “yang berbeda”  itu memberi nuansa dan makna tersendiri. 

 
Angan ini tiba-tiba langsung melayang ke Indonesia tercinta. Di Indonesia mungkin kita 
telah terbiasa dengan jargon menghormati semua sebagai saudara tanpa  diskriminasi,  namun nyatanya hiruk pikuk sosial politik di sekitar kita tidak jauh-jauh dari masalah SARA. Problem di sekitar penistaan agama, isu pribumi non- pribumi, mayoritas- minoritas sampai olokan “monyet” memprovokasi amuk dan separatisme. Di ruang-ruang publik kita masih sering terlihat demontrasi primordialisme secara binal. Sekat-sekat di antara suku-suku, agama dan kepercayaan, dan kelas sosial nampak di cluster-cluster perumahan, sekolah-sekolah berbasis agama, bahkan sampai di pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan. Orang berjumpa tanpa saling menyapa, bersimpangan tanpa saling menjabat tangan, seruangan tanpa kebersamaan.  Banyak pihak merasa  jengah, takut salah dan bahkan alergi perbedaan. 

Di sisi lain, tersedia begitu banyak ruang aman nan militan bagi eksklusivisme sosial, suku dan agama. Perkumpulan-perkumpulan sectarian seolah tak pernah kehabisan stamina dan malah justru beranak pinak dalam multiplikasi yang sulit terbendung. Cemburu sosial perasaan diperlakukan tak adil, kesalah pahaman dan asumsi-asumsi buruk senantiasa mewarnai perbedaan. Itu semua bagai bara api dalam sekam. Siap menjalar begitu dihembusi berbagai angin kepentingan, termasuk  kepentingan politik kekuasaan. 

Dalam konteks yang demikian, apa yang harus diperbuat? Sederhana saja, sesungguhnya risiko sosial yang muncul dalam perbedaan agama dan ras bisa diredam dengan niat baik. Niat baiklah yang menjadi generator kesediaan kita hidup bergaul dan membaur dengan mereka yang berbeda.  Niat baik itu pula yang akan menumbangkan kesengajaan jahat para pemecah belah. Niat baik itu memang perlu direalisasikan secara sistematis dalam berbagai bidang kehidupan. Perlu diciptakan ruang-ruang perjumpaan dan kebersamaan. Dan untuk memulai itu semua ada satu jalan yang sederhana pula, yakni duduk bersama. Keberanian  dan kesediaan duduk bersama dengan yang berbeda di setiap kesempatan di ruang publik merepresentasikan seberapa baik niat kita terhadap Indonesia. Mari lakukan gerakan duduk bersama dengan yang berbeda! -@’Ndrie-

Comments

Popular posts from this blog

"Transformed Nonconformist" Spirituality: An Effort to Open the Eyes of Indonesian Christian Church"

COMPARATIVE STUDY OF “PERFECT MAN” in IBN AL-ARABI and RANGGAWARSITA TASAWUF

BERTEOLOGI DI TENGAH KEMISKINAN