Bergerak : Melebur Diri dalam (Misi) Allah


Gerak adalah salah satu ciri kehidupan, sekaligus menjadi pertanda pertumbuhan dan perkembangan. Apa yang ‘stabil’, tidak lagi bertumbuh dan berkembang serta mengalami stagnansi layak diduga mati. 

Dalam kehidupan, pergerakan- entah yang yang bersifat evolutif maupun revolusioner dibutuhkan bagi kemajuan peradaban. Progresifitas  manusia berpilin erat dengan kemajuan. Sejarah telah menggores kenyataan, bahwa makin jauh manusia pergi-bergerak, makin terbuka pikirannya dan makin ‘kaya’ peradabannya. Contoh paling nyata ada pada perubahan peradaban manusia sesudah alat transportasi ditemukan. Ketika bergerak dengan kaki manusia menemukan buruan, yang bergerak dengan kuda menemukan petualangan, yang bergerak dengan kapal di lautan menemukan benua baru, yang bergerak dengan pesawat terbang merelatifkan batas jarak dan waktu. Masih ada satu lagi, yang bergerak dengan teknologi meringkaskan luasnya semesta hanya dalam satu genggaman. Atau cobalah ingat kawan masa kecil kita. Biasanya mereka yang tak beranjak kemana-mana, hanya di kampung halaman, hidupnya juga tidak berkembang. Sementara para perantau, meski tak selalu ‘sukses’  mengalami limpahnya kisah kehidupan. 

Mandat Bergerak bagi umat Allah 

Kita percaya pada Allah yang hidup, yang senantiasa bekerja dan memainkan ‘tarian’ kehidupan. Maka umatnya pun juga dipanggil untuk turut menari dalam pergerakan-Nya.  Jika memandang sejarah umat dari sudut luas, kita akan mendapati Allah yang menghendaki progresifitas bagi umatnya.  Dalam Alkitab ada 936 kata ‘pergi’ dan 465 kata ‘pergilah’. Perulangan kata ini tergolong sangat banyak dan menandakan pentingnya teologi ‘pergerakan’ dalam Alkitab.[1]Di antara ribuan kata pergi, kita sangat mengenal perintah itu pada kisah Abraham, Musa dan Israel, Yunus, Nehemia, dan bahkan pada Injil Tuhan Yesus Kristus. Bahkan, pemazmur juga menggambarkan hidup sebagai perjalanan ziarah (Mzm. 84:5; juga Mazmur 120-134 dikenal dengan Nyanyian ziarah). 

Peluang ‘pergerakan’ yang Tuhan sediakan adalah sarana untuk melihat hidup dari sudut yang berbeda. Itu akan menuntun pada pertumbuhan pengenalan dan penghayatan tentang Allah dan karya-Nya. Itu akan membawa pada keadaan yang makin berdaya untuk menjalankan misi Allah bagi kehidupan. 

Gerak melebur dengan Allah 

Pergerakan dalam  bergereja adalah hal esensial. Bagi saya, ‘pergerakan’ Pdt. Fransiscus Oktavianus Toerino dan keluarga ke  GKI Sinode Wilayah Jawa Timur,   Klasis Banyuwangi, secara khusus di GKI Pondok Tjandra Indah adalah berkat yang layak disambut dengan sukacita.  Pdt. Frans tergolong muda, berwawasan, berpengalaman, berintegritas serta punya gairah memberi makna pada panggilan pelayanannya. Namun perlu diingat bahwa ‘pergerakan’ bukan hanya terkait dengan mutasi. Setelah peneguhan, tahap mutasi sudah rampung. ‘Pergerakan yang sesungguhnya’ justru baru akan dimulai.

Perpindahan seorang pendeta ke jemaat lain, apalagi ke sinode wilayah yang lain akan melewati tahap tertawa dan menangis, bahagia dan menderita, penerimaan dan penolakan. Bagi seorang pendeta, tanggung jawab dalam konteks pelayanan yang berbeda akan menjadikannya makin bijaksana sekaligus menajamkan panggilannya.  Sementara, gereja butuh kehadiran gagasan yang baru, sentuhan pastoral dan pengajaran yang baru. Bukan karena yang lama tak berharga, melainkan karena pembaharuan adalah keniscayaan. Oleh sebab itu GKI Pondok Tjandra Indah, Pdt. Budianto maupun Pdt. Frans  perlu bersama-sama move-on. Tanpa itu, hidup berjemaat dan hidup melayani akan terasa kebas, dan melahirkan kebosanan absolut yang berujung pada stagnansi. 

Kemanakah pergerakan itu harus diarahkan? Pada kesatuan dengan Allah. Bernadette Roberts berkata,  "Union with God then, is not complete until there is nothing left to be united."[2]Sebagaimana Paulus menggambarkan dalam Gal. 2:20, “…aku hidup, tetapi bukan aku lagi sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.”  

Aku, dalam bahasa Yunani adalah εγω (ego). Ego pada dirinya sendiri netral, namun seringkali berubah menjadi isme. Egoisme adalah penghambat terbesar bagi kesatuan dengan Allah. Sayangnya, kehidupan gereja dan para pelayanan Tuhan juga tak kebal dari egoisme. Dan celakanya dalam kehidupan berjemaat ‘kebenaran’, ‘kekudusan’, ‘kehendak Allah’ sering dipakai untuk menjadi topeng oleh jiwa-jiwa yang egois. Tak jarang topeng-topeng itu dipakai berlapis-lapis. Sampai-sampai yang mengenakannya tak lagi sadar bahwa sedang menutupi hasrat untuk menang, sambil kekeuh-merasa bermaksud baik dan hendak memuliakan Tuhan.  Terkadang, orang merasa telah bergerak, rindu perubahan, menyerukan revivalisme,  ingin memuridkan dan menobatkan orang lain, padahal di balik itu adalah Superioritas Triumphalistik-egoisme yang sangat akut. Egoisme adalah perangkap yang membuat orang stagnan sambil berhalusinasi tentang pergerakan rohani. 

Sebaliknya, gerak bersama yang menghidupkan adalah gerak melebur ego bagi  misi penciptaan, misi rekonsiliasi dan misi keselamatan Allah Tritunggal. Kiranya pergerakan yang demikian dihidupi oleh Pdt. Frans dan keluarga hingga berdampak bagi ladang pelayanan yang baru. Teruslah bergerak sobat! Tumpang tangan dari jauh untukmu. Tuhan meneguhkan. 



Boston, Pra Paskah II 2019, 

Pdt. Andri Purnawan. 



[1]Sebagai perbandingan, kata  ‘keselamatan’ : 189x;   ‘selamat’ : 98x; ‘iman’ : 155x; ‘anugerah’ : 6x; ‘karunia’:169 x; ‘doa’ :78x. Jumlah itu sangat sedikit jika dibandingkan kata ‘pergi’ dan ‘pergilah’. 

[2]Bernadette Roberts, What Is Self? A Study of the Spiritual Journey in Terms of Consciousness (First Sentient Publications : 2005- epub ed.), p. 178.

Comments

Popular posts from this blog

"Transformed Nonconformist" Spirituality: An Effort to Open the Eyes of Indonesian Christian Church"

COMPARATIVE STUDY OF “PERFECT MAN” in IBN AL-ARABI and RANGGAWARSITA TASAWUF

BERTEOLOGI DI TENGAH KEMISKINAN