OLIGARKI dan RADIKALISME - PENUMPANG GELAP DEMOKRASI
Demokrasi Indonesia telah mencapai tahap yang mengkuatirkan. Kekuasaan dari, oleh dan untuk rakyat telah ditunggangi oleh dua entitas penghisap peradaban, yakni oligarki dan radikalisme. Fenomena “praktik penyimpangan demokrasi politik telah membuka peluang terjadinya artikulasi politik yang ekstrim seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, terorisme serta ajaran lain yang bertentangan dengan ideologi Pancasila.
DEMOKRASI OLIGARKI
Demokrasi oligarki merujuk pada suatu tatanan demokrasi dimana konstelasi politik didominasi oleh koalisi elit yang predatoris dan meminggirkan kekuatan masyarakat sipil (Yuki Fukuoka, 2013). Jika dicermati para kapitalis domestic ini telah tumbuh sejak orde baru. Lingkar konglomerat domestic yang dibesarkan oleh Soeharto inilah yang kemudian hari – setelah runtuhnya Soeharto – mengambil alih kekuasaan baik di tingkat nasional maupun local dan membentuk lingkaran oligarkis (Robinson, 2012). Orde baru memang telah tumbang. Namun para pemain lama itu masih tetap bercokol secara masih di era reformasi. Mereka menguasai berbagai sektor kehidupan berbangsa. Ibarat kantong baru yang masih didominasi anggur lama, demokrasi di era reformasi terus mengumbar aroma tengik dan basi. Para oligark pun menancapkan pengaruhnya melalui para tokoh dari rezim lama yang mendominasi kepemimpinan dan aparatur di era reformasi (Hadiz, 2005). Lihat saja, para pimpinan (elit) partai, penguasa media mainstream, para pejabat (bahkan di kabinet Jokowi), sampai pada seluruh jabatan strategis lainnya dalam birokrasi pemerintahan didominasi elit-elit lama yang berotasi di dalam lingkaran kekuasaan oligarki. Para pejuang populisme berkedok demokrasi telah berhasil menipu dengan politik pencitraan yang terus dipoles dan didukung oleh media – yang notabene adala milik para oligark. Dampaknya jelas, pembusukan nasional terus terjadi dengan secara meluas dengan menumbalkan rakyat – yang dibutakan oleh gulali reformasi dan demokrasi.
Kemampuan para oligark untuk menaklukkan kekuasaan negara serta melakukan disorganisasi atas kekuatan opisisi masyarakat sipil membuat proses reformasi tak memiliki basis social politik yang kuat. Ini lah yang kemudian menyebabkan oligarki dapat mempertahankan dominasi politiknya (Mohammad Ridha, 2016).
Kenyataan tersebut makin menajam ketika kekuatan civil societyyang masih sangat ringkih dan tak sitematis sehingga perseteruan politik di era reformasi selalu berujung pada peneguhan posisi elit lama. Basis kekuasaan material para oligark membuat mereka mampu “menyapu bersih” berbagai sumber daya kekuasaan yang mencakup hak politik formal, jabatan resmi (baik di dalam maupun luar pemerintahan), kuasa pemaksaan (coersive power), kekuatan mobilisasi (mobilizational power), dan kekuasaan ekonomi (material power). Para oligark ini terus menggunakan basis sumber daya material untuk melangsungkan manuver politiknya (J. Winters, 2011). Mereka memanfaatkan situasi ketimpangan sumber daya material sebagai peluang memenangkan kontestasi politik baik dalam pemilu, pemilukada, bahkan pilpres. Mahalnya biasaya politik plus tabiat transaksional makin memudahkan para oligark menggeser rival politiknya yang tidak memiliki basis material yang memadai. Dalam konteks demokrasi oligarki, rakyat (voters) tidak memilih apa yang mereka kehendaki, melainkan dipilihkan oeleh segelintir elit kekuasaan yang memegang peran dominative di dalam institusi demokrasi.
“Demokrasi kebablasan” yang menunggangi politisasi SARA mencapai puncaknya pada 10 tahun kepemimpinan SBY. Celakanya ketidak warasan ini cenderung diafirmasi secara terus menerus tanpa refleksi (Samsudin, 2017).
RADIKALISME
Polarisasi di awal kemenangan Jokowi yang tercermin dalam pengkutuban Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih memang semakin pudar. Peta pertarungan antara eksekutif dan legislatif terbiaskan oleh kesadaran akan bangkitnya radikalisme. Segregasi politik menuju pada pertarungan antara elit pendukung Kebhinnekaan dan gerombolan pembela ekskluvitas radikal. Celakanya kaum bhinneka kalah secara dramatis oleh gerombolan radikal yang telah menguasai sektor-sektor penting (dan itu ditanam di era SBY). Signal kuat itu bisa ditangkap dengan kehancuran Ahok di Pilgub DKI. Beberapa pihak kemudian mulai berani menunjuk hidung tentang siapa yang bermain di balik kontestasi politik yang memuakkan itu. Santer diberitakan bahwa ada 9 naga yang bermain di belakangnya. Siapa 9 naga itu bisa diakses dengan mudah melalui mesin pencari (misalnya: http://nusantarakini.com/2016/11/26/baca-ini-konglomerat-hitam-sembilan-naga-pelindung-ahok/). Namun dalam diskusi saat ini penulis memandang bahwa persoalan tidak sesederhana sebagaimana yang ditulis oleh media. Sebab bisa saja para pemilik modal punya strategi “menginvestasikan telur di berbagai keranjang” untuk menghindari kerugian. Politik dua kaki selalu diperankan untuk menjamin survivalitas dan dan kemenangan.
Mengapa radikalisme patut dipertimbangkan sebagai penumpang gelap demokrasi? Fenomena merosotnya antusiasme beragama di beberapa negara Eropa dan Australia (Bruce, 2002) nampaknya tak berlaku di Indonesia. Di negeri ini, sebagaimana halnya dengan negera-negara lain di Arab dan timur tengah, bisnis agama punya penggemar dan konsumen yang begitu antusias. Antusiasme religious ini memicu perkembangan fundamentaslisme dan gerakan radikalisme. Di Indonesia radikalisme memakai jubah Islam – yang mendominasi sekitar 87 % populasi. Islam Indonesia yang sebelumnya terkenal toleran dan membudaya (dengan Islam Nusantaranya) telah dikooptasi oleh militansi Wahabi dengan ide Khilafah Islamiyah-nya. Ideologi ini menginfiltrasi dunia pendidikan, politik, kultural, media, sektor ekonomi, kalangan birokrasi dan mendominasi ruang-ruang public di Indonesia. Dengan berkedok Islam sebagai mayoritas, mereka telah mengagitasi rakyat untuk meneguhkan NKRI yang bersyariah.
Keberhasilan Islam mewarnai ruang public ini pun terjadi pasca keruntuhan Soeharto. Sejarah mencatat bahwa tokoh-tokoh agama memainkan peran sebagai pengawal dan penyeimbang kekuasaan dengan seruan-seruan moral keagamaan. Mereka menyerukan kecaman terhadap rezim yang korup. Mereka bukan hanya mengambil garda depan pertarungan dengan rezim kolononial, namun juga berseberangan denga orde lama di bawah Soekarno. Pada itu Soekarno kemudian secara cerdas merangkul agama sebagai salah satu dari tiga entitas pilar bangsa (Nasakom) – namun toh tetap mendapatkan perlawanan dari gerakan Islam politik – terutama Masyumi. Soeharto yang menumbangkan Soekarno kemudian menjinakkan hasrat politik Islam dengan memberi tempat terhormat kepada abangan dan kejawenserta militer. Namun dalam decade akhir kekuasaannya Soeharto – yang mulai mengalami tantangan dari beberapa faksi militer - mencoba mempertahankan kekuasaan dengan merangkul kelas teknokrat Islam di bawah bendera ICMI. Pasca keruntuhan Soeharto Indonesia “kebanjiran” kelompok yang konservatif dan ekstrim (Simorangkir, 2015).
Mereka yang tadinya bersembunyi di bawah tekanan bangkit bagai jamur di musim hujan. Para penumpang gelap demokrasi bertumbuh dan berkembang biak menjadi kelompok Islam yang ekstrimis, anti-pluralisme, anti nasionalisme, dan tak segan menggunakan kekerasan. Kelompok militant ini kemudian secara sistematis tersebar dalam gerakan yang menghasilkan fundamentalisme dan radikalisme (Bruinessen, 2002).
Kelompok ini tidak lagi malu-malu memobilisasi masa dengan mengatasnamakan Allah dan menggunakan sentimen primordial agama dan suku. Seperti gayung bersambut, ini kemudian menjadi begitu menarik bagi para politisi dan kapitalis yang pragmatis. Isu-isu penegakan syariah di berbagai tempat menjadi dagangan politik yang membanjir kian tak terbendung sejak saat itu hingga kini.
Data mengagetkan pernah dirilis oleh SETARA Institute pada tahun 2013.
Dalam satu peristiwa terdapat beberapa tindakan pelanggaran hak-hak asasi manusia.
data lanjutan : 2013: 222 peristiwa, 222 tindakan; 2014 : 134 peristiwa, 177 tindakan, 2015 : 197 peristiwa, 236 tindakan; 2016 : 218 peristiwa, 270 tindakan.
Juga didapati data penutupan tempat ibadah sbb :
Tak hanya itu, berdasar survey Wahid Foundation dan Lingkaran Survei Indonesia, di tahun 2016 terungkap 11 juta warga muslim Indonesia menyatakan siap untuk melakukan aksi radikal. Sementara 600.000 muslim Indonesia telah melakukan aksi radikal. (https://nasional.tempo.co/read/847391/yenny-wahid-11-juta-warga-siap-lakukan-indonesia-validation/v56HBCGmLQJ6I4IK.99)
KESIMPULAN
Hubungan agama dan politik akan ditentukan oleh otoritas mana yang paling kuat dan dominan dari keduanya, dan bagaimana karakter elit politik dan elit agama yang kebetulan berkuasa. Jika politik menjadi "lebih tinggi", maka agama akan berpotensi menjadi "bawahan". Dan sebaliknya.
Di sisi lain, agama juga dapat berfungsi sebagai "cap" atau legitimasi kekuasaan politik. Di beberapa negara saat ini banyak agama telah "menikah" dan memiliki hubungan "simbiosis mutualisme": politik menjamin perlindungan keamanan komunitas agama, sementara agama memberikan "legitimasi teologis" untuk melanggengkan kekuasaan politik. Dalam konteks ini, secara teoritis, religius dan hubungan politik bersifat parallel, tidak mendominasi tetapi melengkapi dan menguntungkan satu sama lain. Meskipun dalam praktiknya, tentu saja, ada "urusan" di sana-sini di mana agama atau politik mencoba "main mata" dan "menipu" dengan pihak-pihak lain di luar "komunitas agama" (misalnya kelompok pribumi, pengusaha, ateis sekuler, dll. ) atau bahkan secara rahasia menangani satu sama lain dan mendelegitimasi otoritas mereka masing-masing. Doktrin agama (ajaran, wacana, teks, norma dan sebagainya) sangat fleksibel dan mudah diseret sesuai dengan kepentingan pengejar kekuasaan.
Referensi :
1.Yuki Fukuoka, “Oligarchy and Democracy in Post-Soeharto”, Political Studies Review II,no. I, 2013: 52-64.
2.Richard Robison, Soeharto & Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, ditejemahkan oleh Harsutejo dari judul asli Indonesia: The Rise of Capital, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2102)
3.Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Diterjemahkan oleh A Zaim Rofiqi dan Dahris Setiawan, (Jakarta: LP3ES, 2005), 149-150.
4. Muhammad Ridha, “Oligarki dan Agensi Politik Indonesia di Era Neoliberal: Evaluasi Kritis Tesis Oligarki Robison-Hadiz”, Jurnal Indoprogress, no. 6, vol. II, 2016, 9.
5. Jeffrey Winters, Oligarki. Diterjemahkan oleh Zia Anshor, (Jakarta: PT Gramedia, 2011), 17.
7. Steve Bruce, God is Dead: Secularization in the West, Wiley 2002
8. Jungjungan Simorangkir, “Islam Pasca Orde Baru”, Istinbath, e-Jurnal UIN Raden Fatah, No. 16/ Juni, 2015, p. 199-203
9. Martin van Bruinessen, “Genealogies of Islamic Radicalism in post-Suharto Indonesia”, South East Asia Research vo. 10. No.2, 2002, p. 136-154
12. https://nasional.tempo.co/read/847391/yenny-wahid-11-juta-warga-siap-lakukan-indonesia-validation/v56HBCGmLQJ6I4IK.99
Comments
Post a Comment