MENGUJI ‘CINTA & BENCI ILUSIF’

Di era ini, media sangat berperan membentuk persepsi terhadap segala sesuatu. Sayangnya berbagai narasi di sekitar kita tidak disusun dalam ruang hampa. Motif telah menetap, rupa-rupa argumentasi disusun kemudian. Tak jarang lalu lintas narasi itu membuat “orang-orang baik” jadi kabur dan terjerembab dalam jebakan cinta dan benci yang bersifat ilusif. 

Sebelumnya purba sangka  kita terhadap sesuatu butuh afirmasi pengalaman nyata, kini asumsi media yang menggempur secara bertubi-tubi membuat orang tak butuh pengalaman nyata untuk menguji prasangkanya. Sebagai contoh, persepsi yang dibangun oleh kelompok #2019gantipresiden, mereka menggelontorkan berbagai narasi yang membuat orang merasa Indonesia darurat ganti presiden tanpa tahu siapa calon alternatifnya. Propaganda ini seolah mengulang peristiwa “asal bukan Megawati” pasca kemenangan PDIP di Pemilu 1999 lalu.  Terlepas dari polemik siapa yang bermain dan apa motifnya, saya melihat kemiripan dalam dua dinamika politik tersebut. Bedanya, dulu pembingkaian persepsi itu menyasar wakil rakyat dan elit, kini yang disasar adalah seluruh rakyat Indonesia. Tentu saja gempuran masif ini akan mengganggu kesehatan demokrasi Indonesia. 

Dengan fenomena tersebut, pertarungan yang menghalalkan segala cara seolah menjadi sah jika dimainkan di ring media sosial. Ditambah lagi teknologi memungkinkan suguhan berita dan opini sesuai dengan kecenderungan konsumennya. Mereka yang suka toleransi akan terus menerus ‘dipilihkan’ menu toleransi oleh media sosial, sementara yang intoleran akan diagitasi tanpa henti dengan gagasan radikal yang nampak logis dan benar. Narasi kebencian bisa membuat orang begitu jijik terhadap sesamanya tanpa alasan yang bisa dinalar. Sebaliknya narasi pencitraan mencipta para pengikut fanatis tanpa daya kritis. Tak perlu pengalaman buruk dan baik untuk membenci dan mencinta, sebab narasi “buatan provokator” melahirkan kegeraman dan kekaguman bertubi-tubi lewat jagad maya. Jika ini diimplementasikan dalam banyak wilayah, situasinya akan sama. Fanatisme agama, budaya, ideologi sampai tim sepakbola terbangun bukan dari pengalaman, melainkan dari ‘persepsi publik  yang palsu’. Di kondisi demikian, banyak orang menjadi mabuk dalam membuat keputusan etis, sehingga yang benar disalahkan, yang salah dibenarkan, yang baik dituduh sesat, yang sesat dianggap baik. 

picture :wikinut.com


Apa yang bisa dilakukan dalam kondisi ini? 1 Tesalonika 5:21 mengatakan, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.”Dalam versi English Standard Version terjemahannya adalah : test everything; hold fast what is good.Menguji (dokimazete) adalah aktifitas memeriksa implikasi sebuah tindakan. Alih-alih terburu-buru menolak dan kagum secara emosial dengan sesuatu, kita perlumenakar dampak pilihan-pilihan etis bagi diri sendiri, sesama dan seluruh ciptaan. Proses meneliti ini memang butuh kesabaran dan tidak bisa berhenti pada asumsi. Prosesnya begitu panjang dan berliku, sebab apa yang nampak baik dan masuk akal di awal belum tentu baik pada akhirnya. Pemeriksaan itu perlu menimbang kejelasan faktual dan kejelasan konseptual. Kejelasan faktual dibangun dari pengalaman dan sejarah, sementara kejelasan konseptual didapat dari prinsip-prinsip dasar dan penggalian motif.  

Kisah Archimedes (250 SM) – bapak matematika, fisika, astronomi yang tersohor dengan teori hidrostatiskanya mungkin bisa menerangi kita.  Suatu saat raja Hieron (Syracus) – teman baik Archimedes- memerintahkan seorang pandai emas membuat  mahkota berbentuk rangkaian bunga dari emas murni untuk dipersembahkan kepada dewa. Namun Hieron  curiga sebagian emas telah diganti dengan perak murahan. Meski demikian raja tak bisa membuktikan pemalsuan. Maka sang raja meminta Archimedes memecahkan persoalan tersebut. Archie memikirkannya sampai lupa makan-lupa mandi. Saat hendak mencapai puncak frustasinya, ia masuk ke bak mandi. Kontan, air yang mulanya penuh pun meluap tumpah. Pikiran Archie terbuka, ilham datang! Archimedes  berseru Eureka...!!!! Eureka berarti: aku telah menemukannya. Saking gembira dengan penemuannya itu, Archie langsung berlari ke rumah untuk menulis penemuan, hingga lupa bahwa masih telanjang bulat (dalam De Architectura, yang ditulis oleh arsitek Romawi Marcus Vitruvius Pollo).   

Apa yang Archimedes telah temukan adalah metode untuk mengukur volume benda yang berbentuk tidak beraturan. Dia menyadari bahwa suatu objek, ketika direndam dalam air, memindahkan volume air yang sama dengan volumenya sendiri, dan bahwa dengan mengukur volume air yang dipindahkan, volume objek dapat ditentukan, terlepas dari bentuk objeknya. Jadi, dia bisa mengukur volume mahkota dengan mengukur volume air yang tumpah. 

Lalu bagaimana Archimedes menguji kemurnian mahkota emas itu? Setelah ia menimbang berat mahkota tersebut, ia minta disediakan emas dan perak dengan berat persis sama dengan mahkota tersebut.  Volume perak lebih besar dari emas meski beratnya sama. Kemudian Archie mencemplungkan perak dan mengukur tumpahan airnya, lalu memasukkan emas dan mengukur tumpahan airnya, dan terakhir memasukkan  mahkota  dan mengukur tumpahan airnya.  Ternyata, jumlah volume tumpahan air emas  dan mahkota tersebut berbedaDengan demikian dia sampai pada kesimpulan bahwa mahkota itu bukan emas murni. Dan ia yakin si tukang emas memang telah mencampur beberapa perak (atau logam ringan lainnya) pada mahkota yang buatannya.  Setelah mengetahui kebenaran tersebut, Sang raja menghukum mati si pande emas curang itu. 

Proses menguji semua narasi yang berkembang di jagad maya juga membutuhkan jiwa ‘peneliti’. Kejernihan akan membuat kita membuat pilihan tepat, yang jauh dari penyesalan. Oleh karena itu jangan terburu-buru mencinta atau membenci. Tak perlu bergegas mengapresiasi atau mengutuk. Lihat, dengar, alami, jumpai, rasakan, timbang lah segala sesuatu dengan tenang. Jika telah mendapatkan yang baik, segeralah memeluknya. Maka kebaikan itu akan memelukmu sejadi-jadinya. 


Comments

Popular posts from this blog

"Transformed Nonconformist" Spirituality: An Effort to Open the Eyes of Indonesian Christian Church"

COMPARATIVE STUDY OF “PERFECT MAN” in IBN AL-ARABI and RANGGAWARSITA TASAWUF

BERTEOLOGI DI TENGAH KEMISKINAN