HIDUP BARU INSAN PANCASILA
![]() |
akuridianto.blogspot.com |
Tulisan “Pengakuan Dosa Terhadap Pancasila” mendapat berbagai respon. Salah satu yang paling menantang adalah dari Dr. Theo Litaay yang memintaku membuat ‘Petunjuk hidup baru’ setelah mengaku dosa. Hehe… seperti liturgi Minggu saja. Tantangan konstruktif itu membuatku mengambil nafas dalam di hari Pancasila ini. Sejenak setelah menghela nafas yang terlintas di benak adalah hal-hal berikut:
Ketuhanan Yang Maha Esa. Esa bukanlah satu, melainkan satu-satunya. Tuhan Maha Besar, Ia memenuhi seluruh dunia. Terlalu besar untuk dimonopoli suatu bangsa, apalagi oleh doktrin-doktrin rumusan manusia. Ia adalah Sang Kehidupan. Kasihnya dialami oleh siapa saja. Ia menerbitkan matahari bagi orang yang jahat maupun kepada yang baik. Ia menurunkan hujan kepada orang yang benar dan orang yang tidak benar. Mengakui Tuhan itu Esa berarti mengakui kesatuan umat manusia dan keutuhan ciptaan.
Oleh karena itu segala bentuk diskriminasi adalah sebuah perlawanan terhadap Ke-Esaan Tuhan. Segala tindakan mencerai beraikan keutuhan ciptaan adalah pengkhianatan terhadap pengakuan iman akan Ke-Esaan Tuhan. Syahadat tentang Ke-Esaan itu haruslah mendorong pendekatan kekeluargaan, solidaritas dan persekutuan bagi seisi bumi. Segala upaya boikot yang merendahkan peradaban dan martabat manusia dan alam perlu disudahi, sehingga Kemanusiaan yang adil dan beradab mewujud.
Persatuan Indonesia bukanlah tentang keseragaman Indonesia. Penyeragaman adalah tindakan perusakan terhadap kreativitas ilahi – yang mencipta dunia dalam kepelbagaian. Persatuan jelas berbeda dengan persekongkolan, hasrat berapi-api untuk menggapai kekuasaan, menepuk dada dalam percaturan politik bangsa-bangsa. Persatuan adalah harmoni dalam kepelbagaian. Tiap entitas sesungguhnya penting dan memainkan peran vital, meski secara kasat mata ia tak dominan. Bagaikan tubuh dengan 76 organ dan 10 triliun sel bekerjasama secara harmonis dan sitematis, demikianlah Indonesia yang punya lebih dari 17.000 pulau, 1.340 suku bangsa, lebih dari 1211 bahasa daerah, dan kekayaan keragaman lainnya. Saking kayanya Indonesia, sampai sampai anak-anak negeri ini banyak yang tak mampu menghitung berapa kekayaan Indonesia. Istilah “Indonesia Raya” dalam lagu kebangsaan kita mewakili kenyataan tentang kita. Menjadi Indonesia adalah menghayati diri sebagai insan kecil di dalam maha karya semesta di mana Tuhan melebihkan waktu-Nya untuk mencipta. Semangat persatuan adalah ekspresi syukur untuk menjaga agar Indonesia tetap Raya!
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan menegaskan bahwa negeri ini adalah milik rakyat- bukan milik elit. Tantangan terbesar demokrasi kerakyatan yang mengedepankan hikmat ada dua : pertama, adalah dikotomi mayoritas-minoritas, dan yang kedua adalah demokrasi oligarki. Dikotomi mayoritas-mayoritas lahir dari konteks demokrasi liberal yang meniscayakan tempat-tempat dan kebijakan-kebijakan strategis bagi golongan terbesar, sedang kaum minoritas hanya partisipan pelengkap dalam kontestasi hidup berbangsa. Sementara Demokrasi oligarki merujuk pada suatu tatanan demokrasi dimana konstelasi politik didominasi oleh koalisi elit yang predatoris dan meminggirkan kekuatan masyarakat sipil (Yuki Fukuoka, 2013). Demokrasi Pancasila mengamanatkan kekuasaan oleh rakyat yang dipimpin oleh hikmat/ kebijaksanaan melalui proses musyawarah. Alih-alih menggunakan pendekatan kekerasan dan kekuasaan, demokrasi Pancasila meniscayakan pendekatan kekeluargaan, solidaritas dan persekutuan.
![]() |
www.socimage.com |
Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia adalah impian yang terus diperjuangkan perwujudannya. Indonesia telah berjuang dan berkorban selama berpuluh-puluh tahun untuk menggapai satu tujuan, masyarakat adil dan makmur. Untuk mencapai itu ada harga mahal yang harus dibayar, yakni perjuangan fisik dan rohani, pengorbanan material dan spiritual. Tanpa itu keadilan sosial mustahil diraih. Dua hambatan terbesarnya adalah apatisme dan ketamakan. Dengan mengabaikan ketidak adilan sesungguhnya kita telah turut menumbuh suburkan penindasan. Malahan terus menerus mencari selamat sambil menikmati dan mengambil keuntungan di atas ketidak adilan yang terjadi. Sementara ketamakan muncul dari perasaan takut dan berkekurangan. Makin “langka sumber daya” makin orang dipicu untuk berebut, dan akhirnya terjerembab dalam lingkaran ketamakan yang tiada akhir. Sebaliknya makin kita sadar bahwa negeri ini “turah/ melimpah sumber daya” maka makin merekah semangat gotong-royong di negeri ini. Dari sananalah seluruh rakyat mendapat nikmat dari apa yang Tuhan sediakan di bumi Indonesia yang kaya raya ini.
Semoga Pancasila makin mewujud di bumi Pertiwi!
Oleh :
Pdt. Andri Purnawan
Comments
Post a Comment