KEBHINNEKAAN DAN KEUTUHAN CIPTAAN


 

“Kebhinnekaan adalah buah kreativitas tanpa batas dari Sang Pencipta. Tugas kita adalah mengagumi, menyesuaikan diri dan mengelolanya, bukan meniadakannya.”

 

- Pdt. Andri Purnawan-





 

 

 

Sejatinya bicara tentang kebhinnekaan  adalah tentang bagaimana melihat dunia sebagai rumah bersama (oikumene).  Itu  tak bisa dibatasi hanya di ranah penyatuan gereja maupun kebutuhan hidup berdampingan antar  umat manusia saja. Gerakan oikumene dalam kebhinnekaan harus beranjak dari gerakan yang gereja-sentris maupun antroposentris, menuju pada perjuangan keutuhan ciptaan. 

 

TEOLOGI “RUANG KEHIDUPAN” (SPACE OF LIFE) SEBAGAI TITIK BERANGKAT

 

Manusia tidak mungkin dapat hidup tanpa ruang kehidupan. Ruang kehidupan yang dimaksud adalah alam semesta, bumi dan segala isinya. Karya Tuhan dalam sejarah adalah karya dalam ruang kehidupan. Tuhan memulai karya-Nya dengan mencipta ruang kehidupan bagi manusia (Kej.1-2), membenahi kehidupan dengan membersihkan dan menata ulang ruang hidup manusia (lewat peristiwa air bah – Kej. 6:7), memperkenalkan diri kepada Abraham dengan menjajikan ruang hidup yang baru (Kej. 12:1), memperkenalkan diri kepada Israel dan menjanjikan  tanah untuk hidup dan mengaruniakan era baru yang dinafasi oleh kebebasan (Keluaran 6). Tanpa semesta  tak akan ada manusia. Selama masih tinggal di Mesir, Israel hanyalah bangsa yang tak punya tanah, dan artinya tak punya identitas, tak berbudaya, tak memiliki pengalaman iman dengan Tuhan, bangsa budak, yang hanya menghabiskan waktu untuk terlahir, bertahan dan mati tanpa mewariskan apa pun.  Tak heran ketika memasuki  tanah perjanjian Allah membagi tanah Kanaan dan membagikannya kepada 12 suku Israel (kecuali Lewi – yang beroleh kehormatan atas ruang peribadatan umat). Bukan hanya itu, bahkan kemudian Allah Sang Pencipta Yang Maha Besar itu hadir dan menjadi bagian dalam ruang kehidupan yang Ia ciptakan melalui Yesus Kristus. 

 

Tanpa ruang kehidupan manusia tak terlahir, tak bisa hidup dan berbudaya, tak ada perjanjian dengan Allah, sebab Allah berkarya lewat tanah sebagai ruang hidup. Tanpa keterjalinan yang mesra dengan ruang hidup manusia hanya akan jadi makhluk terasing yang dibawa angin tren kehidupan kesana kemari. 

 

Memahami ruang hidup bersama dalam perspektif primodial dan universal. 

 

 

1.     LOKALITAS SEBAGAI RUANG ASALI KITA


Digusurnya tanah-tanah adat, dirambahnya hutan-hutan untuk ditanam sawit ataupun dijadikan kawasan industri, punahnya bahasa daerah, hilangnya peradaban suku tertentu tak lagi menjadi hal yang menggelisahkan dewasa ini. Semua bencana itu seolah terpoles dengan jargon “segala sesuatu terus berubah, yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri”. Padahal jika kita renungkan lebih jauh, primordialitas adalah hal yang penting untuk dirawat. 

 

Konteks lokal-primordial menunjuk pada dari mana kita berasal, dimana kita lahir, dididik, dibesarkan, diasuh. Di sanalah kita belajar dan menemukan identitas asali kita. “Ruang hidup” bukan hanya soal alamat tempat tinggal kita, melainkan asal kehidupan kita. Tempat kita dilahirkan oleh Bapa Sang pencipta melalui ibu pertiwi, diasup dan diasuh oleh tanah kelahiran kita. Identitas kita dilekatkan dengan daerah asal kita, misalnya : orang  Jawa Timur, cah Kediri, wong  (desa) Bandar Lor.  Itu menunjuk pada realitas yang membentuk kita.  Sebab di balik kata Jawa Timur,  Kediri dan Bandar Lor termuat dimensi hidup yang begitu kompleks, melampui posisi geografisnya, melainkan  karakteristik peradabannya, moralitasnya, tanah dan sungainya, kehidupan alamnya dsb.  Tanpa ruang hidup itu, tak ada budaya, tak ada komunitas manusia termasuk gereja, yang ada hanya kehampaan. Oleh karena itu, mereka yang tak menghayati lokalitasnya dan kehidupan asalinya tak akan pernah mampu menjadi warga negara yang baik. 

 

Celakanya akhir-akhir ini keterjangkaran kita dengan ruang hidup asali semakin tak jelas. Di satu sisi fenomena liquid society  telah menjadikan dunia tanpa sekat, namun di sisi lain membuat manusia kehilangan keseimbangan relasi dengan ruang hidup asalinya. Atas nama pembangunan dan kemajuan jaman tanah digusur, lahan-lahan subur pertanian ditebas oleh para pengembang untuk meraup keuntungan dari bisnis properti, hutan-hutan dirambah menjadi industri, desa-desa disulap menjadi real estate,  sehingga kehidupan lokal pun tergusur, penduduknya kemudian semburat  ke berbagai wilayah, manusia tercerabut dari ibu pertiwi, budaya lokal punah,  tak terdengar lagi tembang lokal, tak terlihat lagi tarian lokal, tak terdengar lagi dongeng lokal, tak dimengerti lagi bahasa lokal, dsb. Semua tradisi yang sebelumnya lahir dan lestari turut punah  bersama ruang yang terjajah. Lokalitas kita makin tersisih oleh  hegemoni budaya popular,  kapitalisme, Westernisasi, Arabisasi, dan “isasi-isasi” serta “isme-isme” lain yang biasanya menunggangi jargon kemajuan peradaban dan kemurnian dogma serta sikap keagamaan. 

 

Di tengah keadaan tersebut kita perlu menjembatani, bahkan menjangkarkan kembali masyarakat yang semakin tercabut dari lokalitas dan primordialitas ruang hidupnya. Tentu saja  tanpa terjebak dalam lokalisme dan primordialisme (sebab segala sesuatu yang telah menjadi ‘isme’ akan cenderung menihilkan yang lain). 

 

 

2.     DUNIA SEBAGAI RUANG BERSAMA KITA

 

Kontekstualisasi tanpa perspektif global hanya akan melahirkan re-primitivisme. Ibarat sia-sia menjaga kebersihan rumah kita karena abai terhadap debu dan sampah yang berserakan di halaman tetangga. Kita adalah bagian integral dari kehidupan (macro-organism). Manusia tak akan menjadi manusia sejati tanpa Allah, ciptaan lain dan tanah. Manusia akan jadi inactive dan inauthentic tanpa ciptaan lain. Hidup bersama dalam harmoni bersama seluruh ciptaan adalah dasar eksistensi manusia yang sejati. (Wati Longchar, 2002, p. 18). Manusia bukanlah yang paling agung, melainkan sebagai bagian dari seluruh ciptaan. Kita adalah bagian integral dari komunitas semesta.  

 

Hidup dalam kebhinnekaan bukan saja butuh kesediaan berdampingan dengan orang lain, melainkan kesanggupan kita mengadvokasi alam semesta yang menjadi Ibu kebhinnekaan. Karena itu dibutuhkan penghayatan iman yang mampu merangkul kebhinnekaan di ruang kehidupan. 

 

Iman bukan saja tentang pengalaman personal manusia dengan Tuhan, namun harus dilihat sebagai kebersamaan dengan Tuhan yang menjadi Raja semesta, yang hadir dan lahir di ibu pertiwi. Penebusan Yesus seharusnya tak hanya dihayati sebagai penebusan atas dosa manusia, namun juga perlu dihayati sebagai penebusan atas ciptaan yang akan mencapai kesempurnaannya dalam langit baru dan bumi baru (Wahyu 21). Kristus tidak hanya bekerja di dalam hati orang-orang percaya, sehingga kita juga ditantang untuk melihat Kristus yang berinkarnasi dan hidup berelasi secara total dengan ekosistem. Kristus hadir dalam seluruh ciptaan. Sebab itulah seluruh ciptaan telah diperdamaikan oleh Kristus. Inkarnasi Allah dalam Kristus merepresentasikan Allah yang berkenan hadir dalam ruang yang terbatas. Itu menandai terwujudnya harapan baru bagi tanah untuk mengalami perdamaian, “rasa aman” dan kecukupan, sebab kehadiran Yesus telah mengubah wajah ruang kehidupan. Gereja adalah tubuh Kristus namun juga sekaligus bagian dari dunia. Sebab itu Gereja dipanggil untuk terlibat dalam misi kosmik Allah, yakni membebaskan semesta sebagai rumah Allah dan mentransformasi seluruh ciptaan menuju langit baru dan bumi baru. (Lilburne, A Sense of Place, p. 105). 

 

 

Perjumpaan, perdamaian, persahabatan manusia dengan tanah, udara, air, pohon, binatang dan setiap peradaban dari ruang hidup itu adalah bentuk kesatuan kita dengan Tuhan khalik semesta. Mari peluk Kebhinnekaan di ruang kehidupan bersama kita. (AP)

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

"Transformed Nonconformist" Spirituality: An Effort to Open the Eyes of Indonesian Christian Church"

COMPARATIVE STUDY OF “PERFECT MAN” in IBN AL-ARABI and RANGGAWARSITA TASAWUF

BERTEOLOGI DI TENGAH KEMISKINAN