TABUR TUAI YANG TERDISTORSI


Teologi publik yang berlaku dalam konteks kita menyatakan bahwa kemiskinan adalah hukuman dari Tuhan. Pemahaman ini dikenal sebagai retribution-theology. Singkatnya teologi ini menyatakan bahwa apa yang orang tabur, itulah yang mereka tuai. Pemahaman yang demikian menyeruak dari konteks pertanian awal Israel kuno. Namun sebagaimana yang diungkap oleh Gunther Wittenberg (Wittenberg, 1991) kearifan komunitas ini telah terdistorsi ketika konteksnya berubah dengan bangkitnya monarki dan negara yang tersentralisasi. 

Sebelum monarki, validitas tabur tuai ditantang oleh alam. Masyarakat harus menghadapi beberapa faktor eksternal yang tidak dapat diprediksi, seperti kekeringan, hama belalang, dan invasi dari bangsa tetangga (misal: Filistin). Setelah monarki validitas tabur tuai menghadapi tantangan kedua, yakni orang belum tentu menikmati apa yang mereka tanam, dan juga sebaliknya manusia bisa saja mendapatkan apa yang mereka tidak tanam. 

Memang  monarki memberi jaminan keamanan - melawan invasi - dengan menyediakan tentara, raja dan istananya. Masalahnya raja dan tentaranya bukanlah produsen, sementara mereka semua harus makan. Jadi, sebagaimana Samuel memperingatkan Israel dalam 1 Samuel 8 - ketika Israel meminta seorang raja memerintah mereka ‘seperti bangsa lain’, negara monarki yang tersentralisasi harus mengekstraksi makanan dan tenaga kerja dalam bentuk upeti dan pajak dari mereka yang hidup di wilayah kekuasaannya. Dalam konteks demikian, konsep tabur-tuai tidak lagi sepenuhnya berlaku. Sebab dalam kenyataannya Anda menabur, tetapi yang lain- selain Anda dan keluarga – mengambil dan mengkonsumsi apa yang telah Anda hasilkan. Dengan kata lain, pengalaman orang-orang biasa yang hidup di tanah perjanjian di periode awal tidak lagi sama di era monarki. Di periode monarki, bekerja dengan tekun dan keras belum tentu cukup untuk hidup dengan baik karena sumber daya dan hasil kerja dikuasai oleh negara untuk mempertahankan diri. 

Namun sayangnya - seperti yang ditunjukkan Wittenberg, perubahan dalam pengalaman ini tidak mengarah pada perubahan dalam teologi, paling tidak awalnya. Seperti yang kita tahu sistem teologis lambat berubah! Apa yang terjadi, menurut Wittenberg, adalah bahwa teologi tersebut justru mengalami pembalikan makna. Sebelumnya, ketika orang bekerja dengan rajin, secara umum diterima bahwa mereka akan memetik manfaat yang sesuai dengan tatanan Tuhan. Namun teologi tabur-tuai telah mengalami perubahan makna. Kini mereka yang menunjukkan tanda-tanda kemakmuran diasumsikan telah melakukan apa yang benar di hadapan Allah. 

Masalah dengan teologi ini, tentu saja, adalah mereka yang makmur dengan cara yang tidak adil dianggap telah hidup dengan adil. Banyak rumah dan lumbung penuh, pakaian bagus dan ternak, dan barang-barang impor mewah dilihat oleh masyarakat sebagai tanda berkat Tuhan untuk kehidupan yang baik. Hebatnya, meskipun ada bukti yang jelas untuk menentang, teologi yang terdistorsi ini terus  bertahan. Tuhan diasumsikan, memegang kendali dan orang-orang yang makmur, yang  pasti telah menyenangkan Tuhan dengan hidup sesuai dengan tatanan Tuhan.  

Teologi yang demikian tidak memiliki kepekaan terhadap ketidakadilan struktural, dan para pengikutnya cenderung menjadi orang-orang yang mengambil keuntungan atau diuntungkan oleh systematic privilege, baik itu hak rasial, keistimewaan sebagai kelas menengah kapitalisme, atau keistimewaan sebagai laki-laki di budaya patriarki, dsb. Teologi semacam itu juga lazim di antara mereka yang menstigmatisasi dan mendiskriminasi mereka yang miskin, yang positif HIV atau hidup dengan AIDS,dsb. Celakanya teologi deuteronomistik – yang terdistorsi ini begitu akrab dan diyakini banyak orang. Gagasan ini tidak hanya dipertahankan di banyak mimbar, tetapi juga diperjuangkan juga oleh banyak pemimpin dunia seperti Margaret Thatcher, Ronald Reagan, Goerge W. Bush dan para tokoh penganut populisme global kontemporer (Gerald West, 2012). Dampaknya ketidak-adilan struktural makin merajalela karena beroleh legitimasi campur tangan ilahi. 

Pertanyaannya? Apakah kita masih akan meyakini bahwa kemiskinan dan kemakmuran, penderitaan dan kebahagiaan hanya terkait dengan “tabur-tuai”?- @’Ndrie -

Comments

Popular posts from this blog

"Transformed Nonconformist" Spirituality: An Effort to Open the Eyes of Indonesian Christian Church"

COMPARATIVE STUDY OF “PERFECT MAN” in IBN AL-ARABI and RANGGAWARSITA TASAWUF

BERTEOLOGI DI TENGAH KEMISKINAN