MERAWAT KEBERSAMAAN DI TENGAH KEPELBAGAIAN (GKI)


photo : fiec.org.uk

TANTANGAN POLARISASI
“Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh!”

Sejatinya visi persatuan bukan hanya milik Gereja. Telah menjadi fitrah manusia, setiap orang, kaum atau bangsa ingin bersatu padu dan tidak menyukai perpecahan, lebih-lebih lagi sampai membawa permusuhan dan peperangan. Perpecahan itu buruk akibatnya, bahkan besar resiko yang hendak ditanggung hingga beberapa generasi kemudian. Tetapi  walau ingin bersatu, ternyata manusia sulit untuk disatukan. Mengapa? Karena semua pihak punya keyakinan, cara pandang, dan kepentingan yang beragam. Niat baik saja belum cukup untuk membuat manusia bisa bersatu dan melangkah bersama secara harmonis. Mempertemukan keyakinan, cara pandang, apalagi kepentingan membutuhkan proses dan kesediaan berkenosis  yang luar biasa. Trust  yang menjadi prasyarat kesatuan bukanlah sebuah keadaan final, sebab faktanya sebuah trust sangatlah cair dan dinamis, sangat dipengaruhi juga perkembangan konteks, tantangan dan peluang di sekitar kita. 

Fenomena serupa sebenarnya juga sudah terjadi  di segala lini kehidupan. Bukan hanya di ranah berbangsa, namun juga di dalam Gereja. Kita tahu bahwa usia polarisasi itu sudah setua Gereja itu sendiri (bahkan sudah terjadi sejenak setelah dunia dijadikan). Buktinya sederhana, jika tak ada polarisasi tentu Gereja tak akan menjadi sebanyak dan serumit sekarang ini.

Pertanyaannya apakah deadlock situationharus ditanggapi secara fatalistik ataukah dilihat dalam perspektif yang baru? Mengingat diskusi dan mimpi tentang keesaan Gereja  dan penyatuan GKI sudah dilakukan sebelum saya lahir, maka pertama-tama sikap saya adalah bersyukur. Bersyukur sebab generasi kami tidak perlu lagi pusing untuk merintis dan membangun legitimasi teologis dan historis tentang keesaan Gereja dan kesatuan GKI. Kedua, di dalam syukur itu terdapat mandat  dan tanggung jawab untuk menjaga, memperjuangkan perbaikan, dan menyempurnakan kesatuan agar lebih berdampak bagi kehidupan. 

SITUASI DEADLOCK  BUKANLAH  SEBUAH AKHIR
“Hal itu menimbulkan perselisihan yang tajam, sehingga mereka berpisah dan Barnabas membawa Markus juga sertanya berlayar ke Siprus. Tetapi Paulus memilih Silas.”
 Kisah Para Rasul 15:39-40

Pada bagian ini kita melihat contoh bagaimana para aktor penting di Gereja mula-mula mengalami situasi sulit.  Dan yang mengalami itu adalah Barnabas dan Paulus- dua orang yang sejatinya sudah teruji komitmen pelayanan dan kasihnya satu dengan yang lain. Barnabas, yang nama aslinya Yusuf  tak diragukan kemurnian hati dan cintanya pada Gereja. Ia menjual hartanya dan menyerahkan uang hasil penjualan kepada para rasul di Yerusalem. Maka ia diberi nama baru "Barnabas" (dari bahasa Aram  ברנביאbar na, artinya 'putra nabi',  teks bahasa Yunani pada Kisah Para Rasul 4:36 menjelaskan namanya sebagai υός παρακλήσεως, hyios paraklēseōs, artinya "putra penghiburan" atau "putra pendorong").
Barnabas pertama kali berjumpa dengan Paulus ketika Paulus berkunjung ke Yerusalem.  Barnabaslah yang kemudian memperkenalkan Paulus kepada para rasul (Kisah Para Rasul 9:27)  Barnabaslah yang meyakinkan pengikut Yesus, jika Paulus yang saat itu dikenal sebagai Saulus - penganiaya pengikut Yesus, sekarang sudah menjadi bagian dari murid-murid Yesus dan mengajar di Damsyik dalam nama Yesus.
Terjadi lagi ketika Paulus harus keluar dari Yerusalem karena  ancaman orang Yahudi di Yerusalem, Paulus akhirnya “pulang kampung” ke Tarsus.  Di lain tempat  Kisah Para Rasul 11:19 menceritakan ketika jemaat Antiokhia bertumbuh dan ada orang-orang non Yahudi yang menjadi murid, Yerusalem mengutus Barnabas ke sana.  Dengan nasehat dan penghiburannya, banyak orang dikuatkan dan dibawa kepada Tuhan. Barnabas bisa saja memimpin sendiri di Antiokhia, tetapi tiba-tiba dia pergi ke Tarsus mencari Paulus untuk dibawa ke Antiokhia!  (Kisah Para Rasul 11:25-26 ). Ketika Barnabas memimpin, dia masih ingat kepada Paulus!  Barnabas seorang murid yang dipimpin oleh Roh Kudus, oleh karena itu saya percaya bahwa Roh Kudus lah yang memberikan hikmat kepadanya  untuk pergi ke Tarsus.  Apalagi jarak Yerusalem-Tarsus lebih dari 500km.  Ini adalah hal yang paling luar biasa yang  Barnabas lakukan!  Mereka kemudian menjadi pembuat sejarah, dan di sanalah murid-murid untuk pertama kalinya disebut Kristen. Bukan hanya itu, di Antiokhia, Barnabas bersama Paulus menghadapi keributan yang terjadi dalam jemaat mengenai sunat. Ada yang mengatakan bahwa orang yang menjadi Kristen harus disunat. Namun Barnabas dan Paulus kompak menolak pendapat tersebut. 

Perselisihan Barnabas dan Paulus terjadi ketika mereka hendak melakukan perjalanan Pekabaran Injil untuk kedua kalinya. Barnabas bersikeras ingin membawa Yohanes yang disebut Markus, tetapi Paulus menolak dengan alasan Markus sudah tidak setia. Paulus lebih fokus akan penginjilan, dia menginginkan komitmen yang tinggi pada orang yang diajak serta.  Sedangkan Barnabas berhati gembala, fokus kepada hati seseorang dan ingin memberi kesempatan kedua  bagi Yohanes Markus.  Masing masing memiliki pertimbangan yang sama baiknya, dan perdebatan mulai menemui jalan buntu dan menimbulkan perselisihan tajam. Dalam situasi itulah Barnabas dan Paulus memutuskan untuk bersikap berbeda dan  mengabarkan Kristus dengan cara yang dianggap paling tepat. Paulus pergi bersama Silas sedangkan Barnabas berangkat ke Siprus bersama Markus (Kisah Para Rasul 15:35-41).  Namun demikian, Barnabas tetap berhubungan baik dengan Paulus (Galatia 2:92 Timotius 4:11) . 
Berikut perbedaan tajam yang berharga antara Barnabas dan Paulus: 
KEUNTUNGAN  KONFLIK
BARNABAS 
PAULUS
Memperjelas orientasi
Menekankan pentingnya kesediaan untuk menerima dan membangun kembali orang yang gagal. Selalu ada kesempatan kedua, ketiga, dst. 
Sebagai penjelajah, membutuhkan orang yang bersedia all out, setiap tugas harus diselesaikan sekuat tenaga, baru boleh pulang. 
Memperjelas karunia dan panggilan
Pembangun, people oriented : tugas memang penting, tetapi melayani manusia jauh lebih penting. 
Eksekutor, lebih bersifat task-oriented : tugas pekerjaan yang ada harus dikerjakan hingga selesai tuntas. 

Di sini kita bisa melihat bahwa tidak ada pihak yang lebih benar atau lebih bersalah, namun yang ada adalah perbedaan cara pandang atas suatu hal; keduanya sama penting dan berharga. Sekarang kita bisa melihat bahwa ternyata masih ada sesuatu yang baik yang dapat dipetik dari sebuah konflik. Selama konflik disebabkan oleh perbedaan perspektif dalam menghasilkan apa yang baik dan benar, sejatinya konflik itu tetap berharga. Buktinya, di kemudian hari baik Barnabas maupun Paulus sama-sama berhasil dengan gemilang. 

UNITY IN DIVERSITY :  MENJAWAB PERUBAHAN MASYARAKAT SECARA KONTEKSTUAL
Peristiwa Barnabas-Paulus ini juga bisa menjadi bekal berharga Gereja, secara khusus GKI dalam melihat kesatuannya.  Dalam dunia yang kian mengakui, menghormati dan merawat keberagaman, upaya penyatuan berupa penyeragaman hanya akan menuai pertengkaran dan menghabiskan tenaga. Pemimpin Reformasi RRC, Teng Xiao Ping  mengatakan “ Tidak peduli kucing itu warna hitam, atau putih, yang penting dia bisa menangkap tikus”  Suatu kalimat yang  membawa PRC berkembang luar biasa hebatnya dalam waktu 30 tahun. Terdengar sangat pragmatis memang. Namun filosofi yang demikian menjadikan negara itu memiliki pertumbuhan ekonomi terbesar dan cadangan devisa terbanyak.  Sejarah juga telah membuktikan tidak ada kerajaan yang berhasil menyatukan seluruh dunia dalam satu pemerintahan. Oleh karena Gereja meyakini hanya Allah lah yang berwenang dan berkompeten untuk menguasai seluruhnya. Itupun dalam kerangka realized eschatology– bahwa Kerajaan Allah sudah datang, sedang datang dan akan disempurnakan pada kedatangan Kristus yang kedua.  Maka kesatuan dalam kepelbagaian tentu menjadi landasan ideal bagi GKI untuk berkarya bersama. 

Kesatuan Tata Gereja, Visi, Misi, Rencana strategi, Liturgi, Pedoman  Ajaran, dsb. perlu dikorelasikan secara kontekstual dengan kepungan teknologi yang telah mengubah pola hidup, pola relasi, pergerakan sosial  masyarakat. Belum lagi hedonism, konsumerisme, dan pragmatisme yang begitu mendominasi alam pikir masyarakat –dan anggota jemaat.  Petuah/ nasihat-nasihat tua dianggap tak lagi berguna. Injil tak lagi dihayati sebagai kabar baik, namun alat manipulasi untuk mengukuhkan superioritas triumphalistik. Banyak orang hanya mengingat Gereja di saat-saat penting hidup mereka seperti ketika lahir, menikah, atau mati. Sebagian orang datang ke Gerejanya hanya di hari Minggu, bahkan ada hanya  ketika Natal dan Paskah tiba. Orang-orang Kristen lebih tertarik pada spiritualitas non agamawi yang lebih menjawab kebutuhan.  Masyarakat kita kian hari kian otonom. Mereka nyaris merasa tak butuh orang lain untuk bisa hidup. Sadar atau tidak Gereja berada di ambang krisis yang mengkuatirkan. Sebab itu masa jaya Gereja di banyak tempat hanya jadi nostalgia saja. Gereja hanya dipadati oleh orang-orang tua karena anak-anak mudanya makin tak tertarik dengan Gereja yang kaku, beku, formalistik, atau hanya hura-hura belaka. Gereja menghabiskan uang, waktu, komitmen, energi dalam jumlah besar, namun sejatinya sedang sekarat.

Kesatuan GKI tak akan mampu menjawab tantangan dan perubahan dunia yang terus berubah setiap jam. Contohnya, pola pengambilan keputusan dengan rapat atau persidangan  membutuhkan persiapan yang lama dan mahal. Seringkali ketika keputusan dibuat dalam persidangan Majelis Jemaat/ Klasis/ Sinwil/ Sinode, apa yang diputuskan tidak lagi relevan untuk menjawab kebutuhan jemaat dan tantangan yang ada di masyarakat. Maka dalam kesatuannya GKI perlu memberi ruang gerak yang cukup bagi keunikan dan kepelbagaian di dalamnya untuk meresponi setiap fenomena yang berkembang, sehingga relevansi GKI makin bisa dirasakan.  
Aspek lain yang akan sangat dirindukan masyarakat adalah kehangatan.  Masyarakat dalam era digital  sekarang ini adalah masyarakat yang mengalami dualisme hidup. Di satu sisi hidup di dunia maya yang bebas, terhubung tanpa batas, mengasyikkan, penuh dengan apresiasi, seolah bisa mengontrol banyak hal (sebab kalau tak suka sesuatu hanya perlu mendelete, untag, unfriend, logout, block, dsb), namun di sisi lain dunia nyatanya penuh persaingan, penuh omelan, penuh gossip yang membunuh karakter, penuh aturan, dsb. Itu semua membuat masyarakat kita terutama orang-orang mudanya yang terlahir sebagai digital native  mengalami ketegangan-ketegangan psikis, sosial dan spiritual. Ketika Gereja tak jadi tempat yang lebih hangat dari kenyataan yang mereka hadapi, cepat atau lambat jemaat dan masyarakat kita akan meninggalkan Gereja dan lebih suka mencari kedamaian hidup di dunia maya atau pada komunitas-komunitas lain. 

Bagi saya dalam unity in diversity berlaku prinsip membaharui, menyempurnakan silahkan, namun meniadakan jangan!  Membawa GKI dalam kesatuan yang makin sempurna tidaklah seperti membuat masakan dari beberapa bahan dan bumbu, yang bisa kita iris, kita tumbuk, kita rebus begitu saja.  Melainkan seperti menghidangkan beberapa menu yang sudah jadi dengan berbagai citarasanya masing-masing.  Sebab apa yang sudah ada itu telah punya kompleksitas  historis, emosional bahkan spiritual. Bukankah itu semua juga dibangun melalui  proses bergumul, berdoa, bersidang dalam segala dinamikanya, dsb. Kalau pun harus ada yang dilebur, dikurangi atau ditambah porsinya, pendekatan dalam kesatuan adalah pendekatan kesepakatan bersadarkan kesadaran dan kerelaan, bukan pendekatan regulasi (baca: kekuasaan).  Karena kesadarannya sendiri dengan tanpa diminta dan dipaksa, seorang Barnabas bisa memberikan seluruh hartanya bagi Gereja. Namun ketika Yohanes Markus – sang keponakan – dilarang untuk dibawa, perselisihan tajam terjadi. 

Meminjam penggambaran Pdt. Em. Paulus Sardjono mengenai dinamika penyatuan GKI seperti orang dijodohkan, berpacaran, ke catatan sipil dan kemudian membentuk keluarga. Wajar jika ada perbedaan, perdebatan, bahkan pertengkaran dalam keluarga. Namun jadi tidak wajar jika ada anggota yang memutuskan diri dan keluar dari keluarga karena kemauannya tidak dituruti. Dalam kesatuan semua pihak adalah subjek. Bukankah di dalam GKI yang telah bersatu ini sejak awal kita semua menjunjung tinggi relasi antar subjek, bukan subjek-objek? Untuk merawat kesatuan   butuh kerendahan hati, ketekunan dan ketabahan. 

Pertanyaannya siapa yang akan memulai terlebih dahulu merawat kebersamaan dalam kerendahan hati, ketekunan dan ketabahan?  Yang bersedia melakukannya adalah yang paling serupa dengan Kristus. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh! Segala puji dan hormat dan kemuliaan hanya bagi Allah Bapa Putera dan Roh Kudus sekarang dan selamanya!

Comments

Popular posts from this blog

"Transformed Nonconformist" Spirituality: An Effort to Open the Eyes of Indonesian Christian Church"

COMPARATIVE STUDY OF “PERFECT MAN” in IBN AL-ARABI and RANGGAWARSITA TASAWUF

BERTEOLOGI DI TENGAH KEMISKINAN