BILA DITOLAK DAN DILUKAI

photo : smartparenting.com


Bacaan : Markus 3:20-35

Pernahkah anda berbuat baik dan tulus, namun justru dicurigai, disalahkan, dianggap jahat dan sesat? Bagaimana perasaan Anda ketika diperlakukan demikian? Salah satu hal yang menyakitkan di dunia ini adalah ketika kita mengalami penolakan ketika melakukan yang baik. Penolakan yang paling pahit adalah ketika yang terbaik dari kita justru dianggap kesalahan – bahkan kejahatan. Dalam kondisi demikian banyak orang tidak dapat menerima keadaan. Bagaimana tidak? Wis ditulung malah menthung. Perlakuan yang demikian membuat orang jadi jengah  dan tawar hati untuk melanjutkan aksi-aksi luhur. Seorang teman  bahkan pernah berkata, “Aku kapok berbuat baik! Sebab banyak orang tidak tahu diri, tidak tahu berterimakasih. Jadi mulai sekarang lebih baik aku jadi bad guy! Itu akan membuat orang lebih menghargaiku sebab mereka takut dan segan padaku!”  Bagaimana dengan Anda? 

Bicara tentang penolakan dan penistaan, sesungguhnya bukan hanya Anda yang mengalami. Semua orang mungkin pernah dan akan mengalaminya. Bahkan Yesus pun mengalaminya. Awal karya pelayanan Yesus sungguh manis dan sukses. Segala sesuatunya berjalan dengan luar biasa, namun masa bulan madu tidak berlangsung lama. Tak butuh waktu lama bagi keluarganya untuk berpikir bahwa Dia gila – karena ‘keanehan-keanehan’ factual yang Ia buat. Oleh karena itu keluarganya bermaksud membawa Ia pulang, dengan niat agar ‘kegilaan’ itu tak makin meluas dan mencoreng nama baik keluarga. Sementara para pemimpin agama pun menuduhnya melakukan mujizat dengan kekuatan setan. Untuk menghadapi tuduhan semacam itu, Yesus tak menanggapinya dengan murka. Sebaliknya ia justru mengajak semua orang berpikir kritis dan logis, bahwa setan tak mungkin melawan  dan mengusir dirinya sendiri. Ia malah menegaskan bahwa tak mungkin ia bisa menyembuhkan orang yang sakit dan kerasukan jika tak terlebih dahulu mengikat dan melumpuhkan setan (Mrk. 3:27). Namun bagaimana pun juga Yesus tidak marah dengan penolakan dan tuduhan serius itu. Sebaliknya, Ia justru menegaskan bahwa semua dosa dan hujat terhadap anak manusia akan diampuni. Sederhananya,  Ia tak menuntut dan memaksakan respon yang baik terhadap kebaikan-Nya. Ia memberi kebebasan kepada semua orang untuk meresponi karya kebaikan-Nya. Yang jelas orang-orang yang menerima dan mengikuti-Nya Ia sebut sebagai keluarga dan saudara-saudara-Nya. Karena itulah Ia terus berkarya, terus menghidupi misi-Nya, dengan atau tanpa penerimaan dari orang-orang di sekitar-Nya. 

Jika skeptisisme dan penolakan kepada Yesus dimaklumi dan diampuni, tidak demikian dengan hujat terhadap Roh Kudus. Roh Kudus adalah Sang Penuntun pada kasih dan kebenaran Allah. Ketika orang menolak tuntunan-Nya, sampai kapan pun orang tidak akan berdamai dengan kebaikan Allah. Sebagaimana para pemimpin agama yang merasa diri selalu benar, ada kalanya seseorang begitu beku hati, sombong dan keras, bahkan ketika berhadapan dengan Allah sendiri. Ia bersikeras menolak kasih dan  kebaikan Allah, menolak meminta maaf, menolak menerima pengampunan, menolak rangkulan kasih ilahi. Dan dalam waktu yang sama Allah pun akan menghormati sikap orang itu. Maka seluruh hidupnya akan jadi neraka. Ia tidak diampuni  bukan karena Allah memvonisnya, namun karena tidak bersedia dirangkul, tak bersedia melihat karya besar Allah, tak berkenan berdamai dengan kenyataan yang penuh kuasa dan kebaikan Tuhan. 

Kembali pada pertanyaan semula, bagaimana jika kita yang telah berbuat baik malah mendapat penolakan dan respon permusuhan? Tetaplah tenang! Akuilah bahwa itu memang menyakitkan, namun  cobalah menjelaskan secara jernih. Jika tetap ditolak ampunilah mereka.  Jangan  juga berhenti melakukan kebaikan seperti Kristus telah melakukannya. Sebab sejatinya mereka yang ditolak tak lebih menderita dibanding mereka yang dibakar amarah penolakan terhadap kasih Allah. - @’Ndrie- 

Comments

Popular posts from this blog

"Transformed Nonconformist" Spirituality: An Effort to Open the Eyes of Indonesian Christian Church"

COMPARATIVE STUDY OF “PERFECT MAN” in IBN AL-ARABI and RANGGAWARSITA TASAWUF

BERTEOLOGI DI TENGAH KEMISKINAN