MENJALANI KENYATAAN PAHIT BERSAMA KRISTUS
Jika Tuhan ada, mengapa ia mengijinkan terjadinya rupa-rupa kekejian, pembunuhan, dan ketidak adilan? Banyak orang tergoda untuk berpikir bahwa Tuhan tidak ada, karena di dunia ini terlalu banyak kekerasan dan penderitaan. Namun melalui bacaan Alkitab hari ini, kita mendapati bahwa kisah kehadiran Tuhan tidak terjadi dalam dunia dongeng, dimana segala sesuatu berjalan dengan makmur, aman, dan penuh kebahagiaan. Allah dalam Yesus hadir di tengah realita dunia, dimana terdapat kesenjangan ekonomi, kemiskinan, dan penindasan, bahkan dalam konteks kekejaman politik, dimana rakyat dan bayi-bayi yang tak bersalah dibantai. Yesus pun hadir dalam realitas dimana Ia dan keluarganya harus mengungsi untuk bertahan hidup.
Di Minggu pertama sesudah natal ini, kita akan dibawa untuk membaca realitas pahit dengan sudut pandang ilahi. Sebab kenyataan hidup seringkali seperti sebuah permadani, yang ketika dilihat dari bawah nampak silang sengkarut dan penuh keruwetan. Keindahan sebuah permadani hanya akan bisa dinikmati ketika kita melihatnya dari atas, bukan dari bawah. Dari sudut pandang yang benar (atas), kita akan mampu melihat keindahan permadani sebagai maha karya yang begitu rumit dan bercitarasa seni tinggi.
Penulis Alkitab mampu merefleksikan kenyataan menyakitkan dalam perspektif iman tentang rancangan kebaikan Tuhan bagi mereka yang dikasihi-Nya. Kisah tentang pelarian Yesus dan keluarganya dapat menerangi jemaat tentang kenyataan hidup memang berat, dan terkadang kejam, namun kita harus tetap percaya bahwa Yesus telah hadir di tengah itu, dan Allah akan memampukan kita melewati segala prahara dunia dengan hati yang ikhlas, dan dari sana lah akan datang keselamatan yang tak terduga oleh pikiran manusia. Melalui khotbah hari ini, kita diajak untuk menghadapi kenyataan hidup di dalam iman akan adanya campur tangan dan pertolongan Allah atas segala perkara.
Kisah tentang pembunuhan bayi-bayi oleh Herodes di pada zaman kelahiran Yesus mengingatkan pembaca Matius pada peristiwa pembunuhan bayi-bayi di zaman Firaun ketika Musa dilahirkan (Kel. 1:15-22). Perasaan Herodes tentang kabar lahirnya Sang Mesias membuatnya ingin memburu dan membunuh Yesus, sehingga sang bayi bersama kedua orang tuanya harus terus bermigrasi dan mengungsi untuk menghindari amuk penguasa.
Di usianya yang masih sangat muda Yesus harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Setidaknya Matius mencatat tiga peristiwa. Yang pertama, atas inisiatif Tuhan (malaikat), Yusuf diminta untuk melarikan diri ke Mesir. Mengapa Mesir? Menurut Joseph Brown, dalam True to Our Native Land, p. 89, karena Mesir berada di luar jangkauan politik Herodes, dan di sana (Alexandria dan Leontopolis) terdapat komunitas orang-orang Yahudi. Namun jika dicermati, sesungguhnya kisah pelarian ke Mesir bagi Matius merupakan bagian dari rencana Tuhan, agar ada penggenapan testimoni (nubuat PL, khusunya Hos 11:1, dan Kel. 4:22-23), “Dari Mesir Kupanggil Anak-Ku.” Selain itu secara implisit, lagi-lagi Matius ingin mempararelkan kisah hidup Yesus dengan Musa yang diungsikan ke Mesir, dan dipanggil oleh Allah dari Mesir.
Kedua, Ketika herodes sadar bahwa orang-orang Majus memperdaya-nya, ia kalap dan membuat kebijakan brutal, dengan mengeluarkan perintah untuk membunuh bayi-bayi yang berumur di bawah dua tahun (2:16). Kekejian Herodes tersebut nampaknya disebabkan oleh ketakutan dan perasaan terancam yang begitu kuat. Rasa terancam itu bahkan membuat Herodes juga tega membunuh semua kerabatnya, membangun benteng yang mengelilingi seisi wilayahnya, dan memerintahkan hukuman mati bagi seluruh penjahat politik, untuk memberi efek jera bagi seluruh negeri. Namun alih-alih menggugat mengapa Allah tidak menyelamatkan bayi-bayi di Betlehem dari kebrutalan Herodes, Matius melihat peristiwa ini dalam perspektif teologis, dan mengaitkannya dengan memori retrospektif terhadap peristiwa di zaman Musa. Pengalaman Musa yang selamat dari kekejian Firaun, berhimpit dengan kisah Yesus yang selamat dari kegilaan Herodes. Bagaimana dengan bayi-bayi lain? Meski adalah perintah untuk membantai, secara historis tidak pernah ada catatan pembunuhan atas bayi-bayi yang berumur di bawah dua tahun pada periode itu, mungkin itu terjadi karena Betlehem adalah sebuah desa kecil dimana tidak terdapat banyak bayi – sehingga tidak dicatat berapa yang dibunuh (R.T France “The Gospel of Matthew,” 2007 NICNT).
Ketiga, setelah Herodes mati, Tuhan menggerakkan Yusuf untuk pulang kembali dari Mesir ke tanah Israel, namun mereka tidak kembali ke Betlehem karena dinasihati dalam mimpi tentang keganasan raja Yehuda, Arkhelaus, sehingga mereka membelokkan arah migrasinya ke Nazaret – Galilea, supaya genaplah nubuatan mesianik, bahwa Sang Mesias itu berasal dari Nazaret (Yesaya 11:1, 9:1-2).
Dari kisah tersebut dapat dilihat bahwa kehadiran Yesus di dunia sejak di kandungan, ketika lahir, hingga masa kecilnya senantiasa bergejolak. Kenyataan pahit yang sama juga harus dihadapi Yusuf dan Maria. Bayangkanlah betapa Maria dan Yusuf menggendong bayi dengan diliputi ketakutan, kecemasan, dan keputusasaan. Mereka tidak pernah memilih untuk menjadi orang tua Sang Mesias, namun didaulat melahirkan, menjaga, merawat, dan menjamin keamanan Sang Bayi. Di sisi lain, meski Yesus dan keluarganya melarikan diri dari kejaran diktator pembunuh, mereka tetap merasakan kasih Allah berkerja dan melindungi. Rencana Allah yang besar itu mungkin menyakitkan dan pahit untuk dijalani, namun Allah tak membiarkan hamba-Nya binasa.
Pengalaman Yesus dan keluarganya sangat mirip pula dengan pengalaman bangsa Israel. Dalam Yesaya 63:7-9 digambarkan bahwa tindakan penyelamatan Allah bagi umat-Nya didasarkan atas kasih setia-Nya yang besar. Allah menjanjikan akan menjadi Juruselamat dalam segala kesesakan. Ia menjamin akan senantiasa menjadi Allah yang mengangkat dan menggendong orang-orang yang dikasihi-Nya. Sayangnya umat Allah seringkali tak kuat menanggung kenyataan pahit di dalam kehidupan, sehingga menghalalkan segala cara-termasuk yang bertentangan dengan kehendak Allah – untuk keluarga dari situasi sulit yang membelit. Dampaknya, Allah sendiri yang menghajar mereka yang “menjadi musuh” umatnya (63:10).
Berbeda dengan umat yang memberontak, Yusuf selalu rendah hati dan bersedia mengikuti kehendak Tuhan, meski hanya disapa dan beroleh tuntunan melalui mimpi. Kesetiaan Yusuf dan keluarga terutama terletak pada kesediaan untuk melalu melangkah bersama dengan Allah, tanpa terselip hasrat berkhianat, dan mencari selamat sendiri. Yusuf bisa saja membuat kalkulasi logis dan menguntungkan, dengan cara menyerahkan Yesus yang bukan darah dagingnya itu kepada Herodes, dan setelah itu ia dan Maria dapat hidup tenang. Namun Yusuf memilih untuk peka kepada setiap petunjuk Allah yang dinyatakan melalui mimpi kepadanya. Kenyataan hidup memang pahit, namun jika menjalaninya dengan kekuatan sendiri, segala yang pahit itu akan bergulir liar dan membuat hari-hari kita makin terasa sakit. Sebaliknya dengan bersandar, dan berpegang teguh pada iman akan penyertaan Allah, kita justru akan selamat.
Selamat artinya terhindar dari bahaya, termasuk di dalamnya ketika kita mengalami persekusi. Persekusi bukan hanya tentang mendapat perlakuan buruk dari orang lain, tetapi juga ketika kita tahu bahwa kita beroleh cinta yang pura-pura. Itu adalah sebuah upaya melawan kejahatan dengan kebaikan, sebab hanya kebaikanlah yang akan mendatangkan kebahagiaan, bukan kejahatan.
Bagaimana pun kebaikan lebih kuat dari kejahatan; cinta lebih kuat dari kebencian; terang lebih kuat dari gelap, dan hidup lebih baik daripada kebinasaan (Desmond, Tutu). Namun banyak orang bersikeras untuk tinggal dalam kebencian, karena begitu kebencian lenyap, mereka dipaksa untuk berhadapan dengan kenyataan dan perasaan sakit.
Kebencian yang disangka sebagai pengalih rasa sakit itu, ternyata justru menghisap, mendominasi, menggelapkan hati, pikiran, dan seluruh kehidupan, hingga orang binasa meski ia hidup. Oleh karena itu kita perlu merangkul dan berdamai dengan luka yang kita alami, dan memberi ruang bagi cinta kasih untuk menyembuhkannya. Bagaimana bisa? Sebab di dalam kehadiran cinta hadirlah Tuhan. Ketika kita berjuang untuk mencintai di tengah luka, berjuang untuk menyembuhkan orang lain di saat kita sendiri sedang cedera, kita sedang mengerjakan hal yang suci. Sakralitas hidup terletak pada karya yang berbuah manis, di tengah kenyataan pahit yang harus kita telan.
oleh: Andri Purnawan.

Comments
Post a Comment