ALLAH MENUBUH DALAM KEPRIHATINAN
Kita berada di dunia yang sedang prihatin. Kesedihan, rasa was-was, bimbang tengah menjangkiti banyak kalangan, tak peduli tua-muda, kaya-miskin, semuanya tengah dicekam gejolak ketidakpastian dan berbagai kesulitan hidup. Belum lagi bencana alam dan krisis lingkungan kian parah menerpa Sumatera dan wilayah lain di Indonesia. Dalam situasi yang demikian, banyak orang merasa terhimpit dan tertindas oleh keadaan, sehingga merasa tak berdaya meski segala upaya telah dikerahkan.
Di tengah kepungan keprihatinan yang melanda, kabar baik perlu diberitakan melalui momen malam Natal. Setelah melewati masa penantian panjang akan pertolongan Tuhan, kita diajak untuk merayakan keselamatan, bukan karena segala persoalan yang dihadapi akan segera lewat, namun karena Allah yang berkuasa dan penuh kasih berkenan membersamai kita dalam melewati keprihatinan yang terjadi. Iman yang demikian memungkinkan seseorang untuk punya sandaran dan pegangan, sehingga tidak lari dan frustasi dalam krisis. Kesadaran akan penyertaan Allah akan membuat kesusahan bermakna bagi masa depan, punya manfaat bagi pihak lain, dan pada akhirnya menjadi keprihatinan yang konstruktif.
Dalam peristiwa Natal, kita diingatkan bahwa kasih Allah yang besar bagi semesta nyata melalui peristiwa kelahiran Yesus. Yesus dikandung oleh Maria dalam suasana yang penuh keprihatinan. Gejolak batin Maria tentu turut membentuk kondisi “pre-natal” yang penuh luka, proses persalinan yang harus dilewati setelah melalui perjalanan panjang untuk disensus tentu mendatangkan keringat, darah, dan air mata. Namun bagaimana pun Natal adalah momen lahirnya “Allah yang menubuh” dalam Yesus Kristus.
Natal adalah Allah yang menjadi manusia dalam perspektif kaum tertindas. Mereka yang tertindas sangat mendambakan pertolongan, pembebasan, penyertaan, kedamaian, dan keadilan. Karenanya, keselamatan menjadi hal yang sangat dinantikan dan dirayakan. Merayakan keselamatan tak dapat dilepaskan dari kesediaan merayakan kebaikan Allah yang bersedia berbela rasa bagi manusia yang sedang dalam kesusahan. Jika karya keselamatan Allah diawali dengan kesediaan-Nya menderita bersama kita, maka kita pun dipanggil untuk turut memikul keprihatinan dunia. Sebab tanpa solidaritas, Natal tak lebih dari ritual kambuhan tiap tahun. Oleh karena itu penghayatan tentang Allah yang menubuh di tengah keprihatinan diharapkan akan menjadi jangkar untuk bertahan sekaligus penyemangat bagi mereka yang berbeban berat.
Kisah Kelahiran Yesus dalam Injil Lukas (2:1-14) dikaitkan dengan Agustus, Sang Kaisar Romawi yang berkuasa saat itu. Pengaitan Yesus dengan Agustus merupakan narasi perlawanan (counter narrative) Lukas terhadap propaganda Roma yang mendewakan kaisarnya agar terus bisa mendominasi dunia.
Gaius Octavianus Augustus (63 SM-14 M) merupakan kaisar Romawi pertama dan memiliki peran yang sangat signifikan bagi kejayaan Romawi. Sebagai anak angkat dan orang terdekat Julius Caesar yang beroleh gelar “Julius sang allah” (divus Iulius) setelah meninggal, Agustus mengklaim dirinya sebagai “anak allah” (divi filius), klaim ini tercetak jelas dalam mata uang romawi yang beredar seluruh “dunia.” Selanjutnya Agustus juga diagungkan oleh Roma sebagai “sang penyelamat dunia” dan disejajarkan dengan dewa pada tahun 42 SM, bahkan hari kelahirannya diperingati sebagai new year’s day. Selain itu Agustus juga disebut sebagai “sang pembawa damai” karena berhasil mengakhiri perang sipil dan pemberontakan di wilayah Pax Romana dengan tangan besinya, dan itu ditandai dengan dibangunnya altar perdamaian atas namanya pada 10 SM. Dengan gelar sebagai anak allah, sang juru selamat, dan sang raja damai, Agustus sangat diagungkan oleh seluruh wilayah kekaisaran Romawi.
Narasi perlawanan Lukas ditata dengan apik ketika menempatkan Yesus sebagai Anak Allah, Sang Juru Selamat (Lukas 2:11), dan Sang Raja Damai yang berasal dari Allah. Nampaknya, Lukas menggunakan testimoni dari Yesaya 9 untuk menegaskan peran teologis Yesus, sebagai sesuatu yang telah direncanakan Allah sejak semula. Yesus, juru selamat dunia sejati lahir di tengah demonstrasi kekuatan dan dominasi Romawi (Agustus).
Kelahiran Yesus ditempatkan dalam latar sosio-politis Agustus yang mengeluarkan perintah, agar seluruh warga dunia didaftarkan sensus di tempat asalnya masing-masing. Kuasa Agustus begitu kuat, sehingga Lukas menceritakan bahwa semua orang mendaftarkan dirinya di kota masing-masing. Bahkan Yusuf (beserta Maria yang sedang mengandung pun) ikut tunduk dengan ketetapan itu. Kondisi ini menegaskan betapa hegemoni Romawi dalam kuasa Agustus tidak bisa dibantah dan ditawar. Sensus (perpajakan) adalah alat penindasan, dan Yesus lahir dalam konteks yang demikian.
Proses inkarnasi Yesus terjadi melalui situasi yang penuh perjuangan dan keprihatinan. Penubuhan Allah menjadi manusia tak semudah yang dibayangkan banyak orang. Proses kehamilan Maria yang masih sangat muda tentu masuk kategori kehamilan yang rawan. Belum lagi suasana mental Maria yang harus mengandung “tanpa suami,” memperhadapkannya pada kecaman dan stigma aib, yang tentu saja membuatnya tak berjuang di dalam keprihatinan mendalam. Situasi tersebut mempengaruhi suasana pre-natal Yesus yang sedang menubuh menjadi seorang manusia. Bukankah gejolak batin seorang ibu juga akan berpengaruh kepada anaknya? Sejak di dalam kandungan janin Yesus pun telah berada dalam perjuangan dan keprihatinan.
Tak berhenti di situ, Maria yang sedang hamil tua dipaksa keadaan untuk menyertai Yusuf-suaminya untuk menempuh perjalanan jauh dan melelahkan, hanya untuk dikenakan pajak. Maria yang sedang lelah, lemah, dan rentan setelah perjalanan Nazaret-Betlehem harus berjuang melewati masa persalinan. Persalinan adalah peristiwa fisik, yang menyatu dengan keringat, air mata, dan darah. Semua itu dijalan oleh Maria dengan taat bersama dengan Allah. Allah bersama, dan di dalam Maria (sebagai bayi Yesus). Dalam peristiwa persalinan tersebut adalah peristiwa berbagi kerentanan. Antara yang melahirkan dan yang dilahirkan sama-sama rentan. Itulah proses penubuhan sang Allah menjadi manusia di dalam Yesus Kristus. Namun kisah malam natal menjadi sangat heroik sebab mereka yang rentan dan tertindas itu tak menyerah kepada keadaan.
Yusuf dan Maria justru melewati semua fase berat itu dengan mata iman yang memandang janji hadirnya Sang Juru Selamat. Sayangnya episode persalinan Maria ini seringkali diabaikan, dan proses inkarnasi Kristus direduksi pada hingar bingar perayaan kehadiran Sang Raja Sorga. Padahal kisah Natal adalah kisah tentang Tuhan yang menubuh dalam seorang bayi yang dilahirkan melalui proses persalinan yang sangat berisiko. Tuhan tidak hanya bertitah kepada Maria dan Yusuf, namun juga bersedia turut menderita bersama mereka. Hamba-Nya tidak diperalat, melainkan dijamin selamat. Jalan cinta tak pernah menuntut tumbal dari pihak lain, sebab jika dibutuhkan pengorbanan yang besar, itu dimulai dari diri sendiri.
Lukas justru memanfaatkan narasi penindasan yang memprihatinkan itu untuk menceritakan tentang lahirnya Sang Anak Allah, Raja Damai, dan Juru Selamat yang sejati, yakni Yesus. Sosok yang sejati itu tidak lahir dengan kekuasaan, kekerasan, dan penaklukan. Yesus Sang Anak Allah, Raja Damai, dan Juru Selamat itu menubuh dalam kasih karunia, kesederhanaan, dan solidaritas. Jika Agustus bertahta di atas kemewahan dan kemegahan Roma, Yesus lahir terbaring di palungan, di kota paling kecil, Betlehem. Agustus dikelilingi oleh para panglima dengan berlaksa legion, sementara kelahiran Yesus dibesuk oleh para gembala sederhana yang bekerja hingga larut malam.
Karya keselamatan Allah diawali dengan kesediaan-Nya menderita bersama manusia (yang tertindas). Kehadiran Yesus sebagai Allah yang prihatin menjadi narasi yang konsisten hingga akhir hidup-Nya. Ia datang sebagai bayi, bertumbuh dengan ditolak, diusir, dicibir, difitnah, dibenci, dijadikan sasaran dengki, diremehkan, dihina, dipinggirkan, ditipu, diejek, dicurigai, dikhianati, didiskriminasi, ditahan, diludahi, ditampar, dipukuli, dipaku, dan disalib. Itu semua menunjukkan totalitas keberpihakan Allah bagi manusia yang berdosa dan tercengkeram rupa-rupa ketakutan dan ketidakpastian. Apa yang didambakan umat Allah ratusan tahun sebelumnya, ketika Israel sedang tak berdaya di dalam penindasan peradaban-peradaban besar seolah terjawab. Seorang anak yang disebut sebagai representasi Sang Penasihat Ajaib, Allah yang perkasa, Bapa yang kekal, Raja Damai (Yesaya 9:2-7) tak lahir dari lingkaran istana dan kaum bangsawan, melainkan justru dari kalangan rakyat jelata, yang telah kenyang dengan keprihatinan hidup.
Jika direnungkan lebih dalam, sesungguhnya keselamatan memang selalu dinantikan dan dirayakan oleh mereka yang prihatin. Mereka yang bergelimang kuasa, harta, dan kenyamanan hidup tidak akan mendamba keselamatan. Sebaliknya orang yang susah, yang tak berdaya mengandalkan kekuatan diri akan sangat mensyukuri kemurahan ilahi yang mendatangkan keadilan bagi dunia (Mazmur 96). Keselamatan berkait erat dengan karya pembebasan manusia dari kejahatan struktural yang menumbalkan banyak kaum tertindas, dan kejahatan diri yang membuat setiap pribadi bisa menjadi pemangsa dan penindas sesamanya sendiri. Oleh karena itulah Allah tak lahir dalam latar penguasa, dan penakluk. Sebab penguasaan dan penaklukan hanya akan melahirkan will to power (Nietzsche). Manusia berbondong-bondong dan berlomba menggapai kekuasaan, menggulingkan penguasa dengan segala cara, berhasrat menjadi Agustus-Agustus baru. Dampaknya dunia akan makin rusak dan membusuk.
Inkarnasi Allah dalam Kristus memungkinkan semesta terbebas dari hasrat demonik menggapai kekuatan agar bisa menginjak dan bertakhta di atas penderitaan kaum lemah. Ketika Allah yang maha tinggi, tak tertandingi, dan tak tersaingi, memilih untuk menjadi raja damai dan juruselamat lewat jalan keprihatinan, maka keselamatan yang didamba semua manusia sudah nyata. Melalui jalan itu keselamatan akan menghadirkan moralitas solider, yang membuat mereka yang terselamatkan berlomba-lomba melakukan perbuatan baik dan memperjuangkan kebaikan bersama bagi seisi semesta (Titus 2:11-14).
Oleh: Andri Purnawan.

Comments
Post a Comment